REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Presiden Kelima RI, Diah Permata Megawati Soekarno Putri dianugerahi gelar Doktor HC keenam di bidang ekonomi oleh Mokpo National University, Korsel. Sambil meneteskan air mata, Megawati memaparkan ide-idenya tentang demokrasi ekonomi.
Dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (16/11), Megawati menyampaikan bahwa demokrasi Pancasila adalah sebuah jalan untuk mencapai Trisakti, yakni bangsa yang berdaulat dalam politik, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Berbagai perkembangan sosial politik dan ekonomi dunia belakangan ini, memberikan bukti bahwa Pancasila merupakan konsep yang tepat. Mega juga mengajak semua pihak untuk merenungkan problem multidimensi yang lahir akibat globalisasi dan pasar bebas.
Ia mengatakan, dampak praktek dumping dalam sektor pangan membuat kedaulatan pangan negara-negara berkembang terus direbut dengan praktek mempermainkan harga komoditi impor yang di bawah harga normal produk domestik.
Efek dominonya adalah, daya beli rakyat menurun, lapangan pekerjaan berkurang, deindustrialisasi, dan pada titik tertentu akan mengguncang stabiitas ekonomi dan politik negara.
"Dengan tegas saya menolak praktek dumping. Free trade bukan berarti menciptakan predator perdagangan internasional. Wajib hukumnya di dalam free trade ada fair trade. Sampai kapan pun posisi politik saya akan tetap sama, terutama dalam menyangkut kedaulatan pangan setiap bangsa. Isu pangan tidak boleh sekedar diartikan sebagai ketahanan pangan yang diukur dengan asal pangan tersedia di pasar," katanya.
Menurutnya, pangan merupakan persoalan keberlangsungan hidup suatu bangsa. Kedaulatan pangan berarti kemandirian (selfsuffiency) pangan, melalui kemampuan pemenuhan pangan yang pertama kali harus berasal dari dalam negeri sendiri (selfsupporting).
Tentunya dengan tidak mengabaikan kerja sama yang setara, saling menghormati dan saling menguntungkan dengan bangsa lain. Praktek-praktek ekspansi ekonomi yang tidak adil di abad 21 dinilai telah melahirkan gerakan-gerakan transnasional.
Menurutnya, relasi dan interaksi yang melibatkan rakyat lintas negara dalam berbagai kriminalitas internasional, bukan suatu gerakan antitesa seperti yang dilakukakan para pendiri bangsa. Hal-hal tersebut justru merupakan anak kandung dari praktek-praktek penjajahan politik dan ekonomi.
"Tindakan mereka jelas bukan merupakan praktek demokrasi politik dan ekonomi Pancasila. Kejahatan terhadap kemanusiaan, apapun bentuknya, bukan suatu antitesa dari ketidakadilan," katanya.
Mega mengaku, demokrasi Pancasila telah membimbingnya untuk terus menyuarakan perdamaian dunia. Karena itu pula, ia tidak akan menyerah untuk terus terlibat dalam upaya mencari penyelesaian konflik antara Korea Selatan dan Korea Utara. Ia menyatakan menentang pihak mana pun yang memanfaatkan situasi di kedua negara dengan memperuncing perseteruan.
"Pilihan saya tidak akan pernah berubah. Saya memilih bersama dengan rakyat Korea Selatan dan Korea Utara untuk terus mengupayakan perdamaian kedua negara. Saya pun selalu katakan, kalian sesungguhnya bersaudara, satu rumpun. Kita harus meyakini, selalu ada jalan keluar jika kita memilih jalan dan cara damai dalam menyelesaikan konflik dan sengketa," ujarnya sambil meneteskan airmata.
Dubes RI untuk Korsel, Umar Hadi yang hadir dalam kesempatan itu menyatakan pemberian gelar ini merupakan salah satu bukti pengakuan Korsel atas ide-ide besar bangsa Indonesia.