REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Rencana Universitas Negeri Padang (UNP) untuk menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa kepada mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri menuai aksi pro dan kontra.
Pemberian gelar sejatinya berlatar akademis, yakni peran Megawati dalam melahirkan Undang-Undang (UU) nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasiona. Namun sejumlah elemen masyarakat di Kota Padang tak setuju dengan pemberian gelar Doktor HC yang rencananya akan dilakukan pada Rabu (27/9) mendatang.
Forum Masyarakat Minang (FMM) misalnya, bersama dengan Majelis Mujahiddin dan Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM), melakukan aksi penolakan terhadap pemberian gelar Doktor Kehormatan kepada Megawati Soekarnoputri. Ketua FMM Irfianda Abidin menjelaskan, penolakan ini lebih karena mempertimbangkan faktor adat, etika, dan moral.
Salah satu pertimbangannya, lanjut Irfianda, adalah konten pidato Megawati dalam perayaan ulang tahun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ke-44 di Jakarta pada 10 Januari 2017 lalu yang dianggap menyinggung umat Islam.
Dalam pidatonya, Megawati menyampaikan pemikirannya terkait fenomena munculnya kelompok yang mulai menunjukkan gerakan anti-Pancasila. Selain itu, ujar Irfianda, adanya indikasi pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) yang masih berada di dalam tubuh PDIP.
"Jadi kami mengimbau kepada seluruh pihak untuk dinginkan kepala, kami menolak bukan kebencian tapi sebuah tuntutan dari adat kita. Alasan ini adalah alasan adat etika. Karena apalah artinya ilmu yang dituntut namun tidak beradab dan beretika," ujar Irfianda.
FMM dan ormas lainnya akan melakukan dialog dengan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Sumatra Barat, terkait dengan penolakan mereka terhadap rencana UNP memberikan gelar Doktor Kehormatan kepada Megawati Soekarnoputri. Irfianda menyebutkan, sikap lanjutan terhadap aksi mereka akan diputuskan pada Rabu depan.
"Dan bila ada pihak yang tak senang, kita bisa berdialog. Apa keputusan nanti tergantung pada apa yang akan dibahas DPRD Provinsi besok dan apa hasil pembicaraan kita di Kantor Gubernur," katanya.
Sementara itu, Rektor UNP Ganefri menjelaskan bahwa keputusan pemberian gelar Doktor HC kepada Megawati Soekarnoputri sudah melalui kajian akademis yang cukup lama.
Bahkan rapat senat UNP terkait hal ini sudah dilakukan pada Maret 2017 lalu. Putusan senat UNP kemudian dibawa kepada Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi untuk dimintakan persetujuan. Izin dari pusat, lanjut Ganefri, kemudian muncul pada Juli 2017 lalu.
Ganefri melanjutkan, proses pemberian gelar Doktor HC tak hanya matang setelah izin dari pemerintah pusat turun. Menurutnya, pihak UNP harus melakukan audiensi dengan Megawati Soekarnoputri sendiri untuk dilakukan kajian akademis. Pihak kampus harus memastikan bahwa sosok Megawati memang layak diberikan gelar Doktor Kehormatan.
Pihak promotor yang diketuai oleh Prof. Dr. Sufyarma Marsasidin dan dibantu oleh Prof. Malik Fajar selaku mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Kabinet Gotong Royong, kemudian memantapkan keputusan pemberian gelar Doktor HC kepada Presiden RI ke-5 tersebut. "Jadi kami tidak memandang Bu Mega sebagai ketua partai PDIP atau yang lain-lain," kata Ganefri.
Menurutnya, poin utama yang dibahas dalam kajian akademis adalah peran Megawati dalam menerbitkan UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pihak kampus beranggapan bahwa UU tersebut menghasilan paradigma baru pada dunia pendidikan dari era orde baru ke era reformasi. "Dan kemajuan yang dihasilkan, salah satunya keberpihakan pemerintah bahwa alokasi anggaran pendidikan harus minimal 20 persen dari alokasi APBN pusat atau APBD di daerah," jelas Ganefri.
Pemberian gelar Doktor HC pada Rabu (27/9) depan akan dilakukan di Kampus UNP dan bakal dihadiri oleh sejumlah menteri Kabinet Kerja yang saat ini menjabat dan menteri Kabinet Gotong Royong semasa Megawati memimpin.