REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Siapakah sebenarnya Ibnu Sahl itu? Sejatinya, pakar optik termasyhur itu bernama lengkap Abu Sad Al-Ala ibnu Sahl atau lebih dikenal dengan Ibnu Sahl.
Ia adalah ilmuwan yang mengabdikan dirinya di istana Khalifah Abbasiyah Baghdad. Fisikawan Muslim asal Arab itu terlahir pada 940 M dan meninggal di tahun 1000. Keberhasilannya dalam bidang optik membuktikan bahwa dirinya adalah ilmuwan besar dalam era keemasan Islam.
Ilmuwan yang satu ini tercatat menguasai tiga ilmu penting, yakni optik, matematika, dan fisika. Namun, menurut Len Berggren, Ibnu Sahl juga menguasai bidang geometri yang ditulis akhir abad ke-10 M. ''Ibnu Sahl adalah seorang ahli ilmu geometri terkemuka,'' papar Berggren.
Sejarah optik modern kerap kali menyebut nama Ibnu Haitham (965-1039) sebagai ''Bapak Ilmu Optik Modern''. Ternyata, Ibnu Haitham pun banyak terpengaruh oleh Ibnu Sahl. R Rashed (1993) dalam bukunya
Rashed berhasil menemukan naskah yang telah terpisah di dua perpustakaan. Dia mengumpulkan kembali naskah tersebut, diterjemahkan, dan diterbitkan. Menurut Rashed, dalam karyanya, Ibnu Haitham menyebut nama Ibnu Sahl, seorang ahli optik yang bekerja dan hidup pada akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11. Di sisi lain, dia berkomentar di salah satu risalah Ibnu Sahl berjudul al-Kuhi.
Dalam bidang optik, Ibnu Sahl bukanlah ilmuwan pertama di dunia Islam. Seabad sebelumnya, peradaban Islam memiliki Al-Kindi (801 - 873 M) yang telah mengembangkan bidang kajian optik. Hasil kerja kerasnya mampu menghasilkan pemahaman baru tentang refleksi cahaya serta prinsip-prinsip persepsi visual. Buah pikir Al-Kindi tentang optik terekam dalam kitab berjudul De Radiis Stellarum. Buku yang ditulisnya itu sangat berpengaruh bagi sarjana Barat, seperti Robert Grosseteste dan Roger Bacon.
Tak heran, bila teori-teori yang dicetuskan Al-Kindi tentang ilmu optik telah menjadi hukum-hukum perspektif di era Renaisans Eropa. Secara lugas, Al-Kindi menolak konsep tentang penglihatan yang dilontarkan Aristoteles. Dalam pandangan ilmuwan Yunani itu, penglihatan merupakan bentuk yang diterima mata dari objek yang sedang dilihat. Namun, menurut Al-Kindi, penglihatan justru ditimbulkan daya pencahayaan yang berjalan dari mata ke objek dalam bentuk kerucut radiasi yang padat.
Ilmuwan lainnya yang tak kalah fenomenal dibandingkan Ibnu Sahl adalah Ibnu Al-Haitham (965 M - 1040 M). Menurut Turner, Al-Haitham adalah sarjana Muslim yang mengkaji ilmu optik dengan kualitas riset yang tinggi dan sistematis. "Pencapaian dan keberhasilannya begitu spektakuler,'' puji Turner.
Al-Haitham adalah sarjana pertama menemukan pelbagai data penting mengenai cahaya. Salah satu karyanya yang paling fenomenal adalah Kitab Al-Manazir (Buku Optik). Dalam kitab itu, ia menjelaskan beragam fenomena cahaya, termasuk sistem penglihatan manusia. Saking fenomenalnya, kitab itu telah menjadi buku rujukan paling penting dalam ilmu optik. Selama lebih dari 500 tahun, buku itu dijadikan pegangan.
Pada 1572 M, Kitab Al-Manazir diterjemahkan ke bahasa Latin, Opticae Thesaurus. Dalam kitab itu, dia mengupas ide-idenya tentang cahaya. Sang ilmuwan Muslim itu meyakini bahwa sinar cahaya keluar dari garis lurus dari setiap titik di permukaan yang bercahaya.
Selain itu, Al-Haitham memecahkan misteri tentang lintasan cahaya melalui berbagai media dan serangkaian percobaan dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Keberhasilannya yang lain adalah ditemukannya teori pembiasan cahaya. Al-Haitham pun sukses melakukan eksperimen pertamanya tentang penyebaran cahaya terhadap berbagai warna.