Rabu 22 Nov 2017 18:45 WIB

Revolusi Oktober dan Kebangkitan Muslim Rusia

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Ribuan umat muslim di Rusia melaksanakan Shalat Idul Adha 1436 H di Masjid Agung Moskow atau Moskovskiy Soborniy Mecet, Kamis (24/9).EPA/YURI KOCHETKOV
Foto: EPA/YURI KOCHETKOV
Ribuan umat muslim di Rusia melaksanakan Shalat Idul Adha 1436 H di Masjid Agung Moskow atau Moskovskiy Soborniy Mecet, Kamis (24/9).EPA/YURI KOCHETKOV

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 7 November 1917, merupakan hari pecahnya Revolusi Oktober, yakni ketika kaum Bolshevik merebut kekuasaan di bawah pimpinan Vladimir Ilyic Lenin.

Seluruh tatanan masyarakat lama di Rusia berubah drastis, termasuk umat Islam. Sehingga, dalam praktiknya dokumen 20 November tersebut tidak dipraktikkan sebagaimana harapan umat Islam.

Namun, sikap toleransi kaum Bolshevik hanya bertahan sekitar 10 tahun setelah Revolusi Oktober. Setelah itu, khususnya pada kurun waktu 1928-1930, pemerintah menindas kaum Muslim, khususnya berbagai kehendak demokrasi mereka.

Dalam prosesnya, kaum Bolshevik menutup masjid-masjid, menggulung perkumpulan politik Islam, dan akhirnya mendeklarasikan semua politikus Muslim sebagai musuh negara. Sebagian mereka diekseskusi, sedangkan banyak yang lain melarikan diri ke luar negeri.

Memang, hal yang sama kerasnya juga dilakukan terhadap umat agama lain. Sebab, paham Komunisme menolak mentah-mentah agama, yang dinilai sebagai 'candu' masyarakat.

Ada empat bidang yang dilemahkan pemerintahan Uni Soviet atas agama-agama, yakni paham politik, status hukum gereja/masjid (sehingga pengadilan agama lokal ditutup), daya ekonomi umat beragama, dan ideologi (agar menganut Komunisme).

Sebagai informasi, pada 1928-1931, pemerintah memerintahkan penggantian aksara Arab ke aksara Latin. Kemudian, pada akhir 1930-an itu diganti dengan aksara Rusia sebagai aksara resmi.

Namun, di sisi lain, kaum Bolshevik 'terikat' dengan slogan-slogan melindungi kelas pekerja, termasuk yang beragama Islam. Inilah waktu bagi kaum Muslim untuk mengalami hubungan antaretnis begitu tegang.

Dampaknya bahkan bisa dirasakan berpuluh tahun kemudian hingga pascaruntuhnya Uni Soviet, pada Desember 1991 ke dalam banyak negara.

Zaonegin menyimpulkan, Pemerintahan Uni Soviet hanya mampu melemahkan gerakan-gerakan umat Islam setempat di permukaan. Begitu Uni Soviet runtuh, bagaikan api dalam sekam, gejolak kembali terlihat.

Bagaimanapun, Zaonegin melihat adanya kebangkitan kembali (renaissance) umat Islam pascaruntuhnya Uni Soviet. Gejalanya mulai tampak sejak 1980-an, yakni ketika Partai Komunis mulai melakukan restrukturasi yang dalam batas tertentu menghormati umat beragama.

Propaganda antiagama mulai dihilangkan. Para tokoh Muslim mulai diizinkan terlibat dalam berbagai kegiatan di ruang publik. Bahkan, pemerintah membolehkan pendirian sekolah-sekolah agama yang terintegrasi dengan masjid.

Pemimpin terakhir Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, memberlakukan kebijakan Perestroika (restrukturasi) dan Glasnost (keterbukaan) sejak 1980-an.

Puncaknya, pada 1991 ketika jalan menuju demokrasi kian mulus. Islam menjadi kekuatan yang signifikan saat itu. Seperti yang dikenang Presiden Rusia Vladimir Putin saat berpidato di hadapan pemuka suku Chechen.

Di Rusia, kita punya 20 juta Muslim. Dan kita tak bisa menafikan pandangan-pandangan mereka. Kaum Muslim telah hidup berabad-abad lamanya di Rusia. Mereka tetap bertahan dalam masa kekuasaan Uni Soviet.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement