REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Ilmuwan NASA dari Columbia University, Christopher M Colose mengatakan, letusan Gunung Agung berpotensi menurunkan suhu permukaan Bumi. Letusan Tohlangkir pada 1963 menelan korban 1.600 jiwa dan menurunkan suhu global 0,1-0,2 derajat Celsius.
Colose mengatakan, kondisi tersebut hanya terjadi jika letusan yang dihasilkan gunung setinggi 3.142 meter itu cukup eksplosif. Letusan gunung berapi akan menghasilkan gas Sulfur dioksida (SO2) yang akan berubah menjadi sulfat aerosol di stratosfer.
"Jika kondisi ini terpenuhi, erupsi bisa mendinginkan permukaan bumi (troposfer) dan menghangatkan stratosfer. Keduanya berkebalikan bergantung pada kenaikan Karbon dioksida (CO2). Meski demikian, itu semua jangka pendek, hanya dalam hitungan tahun," kata Colose, dilansir dari The Express, Kamis (30/11).
Gunung berapi menghasilkan CO2 yang bersifat menyerap panas, namun sekaligus menyemburkan partikel abu dan gas seperti SO2 yang bersifat memantulkan kembali sinar matahari. Inilah yang mendinginkan Bumi.
Ketika Gunung Pinatubo di Filipina meletus 15 Juni 1991, sekitar 20 juta ton sulfur dioksida dan partikel abu vulkanis disemburkan lebih dari 20 kilometer ke atmosfer. Letusan tersebut menyebabkan korban dan kerusakan masif.
Gas dan partikel padat yang menuju stratosfer menyelimuti Bumi selama tiga pekan. Letusan gunung berapi sebesar itu bisa memengaruhi iklim global, mengurangi paparan radiasi matahari ke permukaan Bumi, menurunkan suhu di troposfer, dan mengubah pola sirkulasi atmosfer.
Aktivitas vulkanis berskala besar mungkin hanya berlangsung beberapa hari. Namun, curahan gas dan abu yang melimpah bisa memengaruhi pola iklim selama bertahun-tahun. Gas sulfur dikonversi menjadi aerosol sulfat, yaitu tetesan submikron yang mengandung sekitar 75 persen asam sulfat. Setelah letusan, partikel aerosol in biasanya bertahan tiga hingga empat tahun di stratosfer.
"Letusan gunung berapi menyebabkan perubahan iklim jangka pendek dan berkontribusi terhadap variabilitas iklim alami," kata Profesor Georgiy Stenchikov, seorang peneliti di Departemen Ilmu Lingkungan di Universitas Rutgers, dilansir dari laman NASA.
Stenchikov dan rekan-rekannya melakukan simulasi dari letusan Gunung Pinatubo selama dua tahun. Mereka menemukan suhu di troposfer secara global menjadi lebih dingin, namun suhu stratosfer di daerah tropis meningkat hingga empat derajat celsius karena penyerapan aerosol gelombang pendek terestrial dan radiasi inframerah dekat matahari.