REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sedang menunggu pengumuman resmi dari Presiden AS Donald Trump berkaitan dengan pengakuan atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, dan memperingatkan mengenai konsekuensi dari tindakan itu.
"Sebagai masalah prinsip, Sekretaris Jenderal telah mengatakan ia secara terus-menerus telah memperingatkan agar tak ada tindakan sepihak yang akan memiliki potensi merusak penyelesaian dua-negara," kata Juru Bicara PBB Stephane Dujarric dalam satu taklimat di Markas Besar PBB di New York, Selasa (5/12).
Ia mengatakan pemimpin PBB itu sedang menunggu pernyataan resmi dari Washington. "Kami sejak dulu telah menganggap Yerusalem sebagai masalah status akhir yang harus diselesaikan melalui perundingan langsung antara kedua pihak (Israel dan Palestina) berdasarkan resolusi terkait Dewan Keamanan PBB," kata Dujarric.
Trump pada Selasa telah memberitahu para pemimpin Arab dan Israel ia bermaksud memindahkan Kedutaan Besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, tindakan yang akan berpotensi memicu kerusuhan di wilayah tersebut.
Rakyat Palestina menganggap Yerusalem Timur, yang direbut Israel dalam Perang 1967 sebagai ibu kota negara masa depan mereka dan status Jerusalem secara keseluruhan masih menjadi masalah yang harus diselesaikan. Para pejabat senior AS pada Selasa mengatakan Presiden AS Donald Trump pada Rabu bermaksud mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem.
Tindakan Trump tersebut diperkirakan akan menyulut ketegangan lebih jauh di Timur Tengah dan merusak pendirian AS sebagai penengah perdamaian bagi masalah Palestina-Israel.
Trump akan mengakui Jerusalem sebagai Ibu Kota Israel, kata beberapa pejabat kepada wartawan dalam satu konferensi jarak jauh. Mereka menjelaskan Presiden AS itu memandang ini sebagai pengakuan bagi kenyataan, kenyataan sejarah dan kenyataan zaman modern.
Trump juga akan menginstruksikan Departemen Luar Negeri untuk memulai proses pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem, kata beberapa pejabat yang tak ingin disebutkan jati dirinya. Mereka menambahkan pemindahan itu akan memerlukan waktu bertahun-tahun.
"Itu bukan berarti kedutaan besar akan pindah besok," kata mereka. Mereka menyatakan ada sebanyak 1.000 personel di kedutaan besar di Tel Aviv. "Akan diperlukan waktu untuk menemukan lokasi, menangani masalah keamanan, merancang instalasi baru, menemukan fasilitas baru dan membangunnya, jadi ini bukan proses spontan."
Walaupun Kongres AS mensahkan Jerusalem Embassy Act pada 1995, yang mengharuskan pemindahan kedutaan besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, mantan presiden AS, termasuk George W Bush, Bill Clinton dan Barack Obama terus menerus memperbarui surat pelepasan tuntutan presiden untuk menunda pemindahan tersebut dengan mempertimbangkan kepentingan keamanan nasional.
Status Yerusalem masih menjadi salah satu masalah inti dalam konflik Palestina-Israel. Sejauh ini, masyarakat internasional tidak mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan tak ada negara asing yang menempatkan kedutaan besar mereka di kota tersebut.
Saudi Disebut Dukung Trump Jadikan Yerusalem Ibu Kota Israel