REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak ditetapkannya state of emergency di Mesir pada April 2017 lalu, aparat keamanan Mesir secara terus-menerus melakukan razia terhadap warga negara asing dalam rangka penertiban keamanan, termasuk penangkapan terhadap mahasiswa Indonesia yang dicurigai terlibat gerakan radikalisme.
Karena itu, Pemerintah Indonesia sementara waktu mengimbau agar mahasiswa Indonesia tidak diberangkatkan ke Negeri Piramida itu. Kementerian Agama juga mengimbau setiap mahasiswa yang akan dikirim ke Mesir terlebih dahulu mengikuti prosedur yang ditetapkan Kementerian Agama, sehingga tidak terpengaruh aliran radikalisme.
Kendati demikian, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Prof Kamaruddin Amin mengatakan bahwa sejatinya Mesir merupakan salah satu negara yang disebut sebagai penjaga gawang moderasi Islam atau Islam Wasathiyah yang juga kerap digaungkan di Indonesia.
"Sebenarnya Mesir negara yang pemikirannya sangat moderat. Mesir itu menyebut dirinya penjaga gawang moderasi Islam atau Islam wastahiyah itu. Mesir itu penjaga gawang, jadi sesungguhnya baik," ujar Kamaruddin kepada Republika.co.id, Rabu (6/12).
Namun, lanjut dia, jika mahasiswa yang dikirim ke Mesir tidak melalui jalur formal maka akan berpotensi memunculkan masalah di Mesir karena tidak mengikuti tes pemahaman dasar keagamaan Islam moderat Indonesia. "Cuma itu tadi kalau berangkat tanpa proses tanpa prosedur ya sangat berpotensi di sana (Mesir) bermasalah sehingga tentu kita tidak inginkan itu," ucapnya.
Di samping itu, tambah dia, meskipun Mesir sangat moderat tapi Mesir itu juga sangat demokratis sebenarnya. Karena itu, menurut dia, meskipun di Mesir banyak keompok moderat, di sana juga ada kelompok-kelompok radikal.
"Artinya suasana Mesir itu sangat kondusif untuk munculnya aliran kegaamaan yang berbeda, sehingga juga ada potensi sebenarnya (munculnya gerakan radikal). Kita tidak bisa menggap enteng juga," kata Kamaruddin.