REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bisnis keripik pisang dan singkong milik Susy Dyah Anggraeni dan suaminya semula adalah keisegan mengisi waktu. Makin besar, bisnis ini jadi tumpuan keluarga mereka.
Warga Tuban ini semua berjualan nasi goreng keliling. Di sela-sela usaha, Susy iseng mengolah pisang dari tanaman yang ada di sekitar rumahnya. Konsumennya pun hanya keluarga dan tetangga. Dirasa enak, tetangga dan kerabat Susy mulai memesan keripik pisang buatannya, baik untuk hajatan atau camilan.
Susy kemudian diajak temannya bergabung menjadi mitra binaan Semen Indonesia pada 2005. Dari sana Susy mendapat modal tambahan. Ia kemudian makin serius mengembangkan bisnis keripiknya. Meski begitu, Susy dan suami belum mencurahkan semua potensinya bagi bisnis baru itu.
Pada 2005 hingga 2008, Susy dan suami masih terpecah fokus dengan berdagang nasi goreng. Tentu saja, menjalankan bisnis 'dua kaki' seperti itu butuh energi tersendiri. Belum lagi ujian yang harus mereka hadapi, mulai dari kehabisan modal hingga sepinya pesanan pelanggan.
Pada 2008, akhirnya Susy dan suami memilih menjalankan penuh bisnis keripiknya. Dengan fokus pada bisnis keripik, Susy leluasa berinovasi. Kini Keripik Gerus memiliki 12 variasi produk.
Mereka juga menambah pekerja dan memperbaiki sistem penjualan. Saat ini Susy dan suami memiliki 12 pekerja dan 13 tenaga penjual.
''Walau keripik tradisional, kalau dikemas bagus, hasilnya pasti beda,'' kata Susy.
Dari bisnis ini, pendapatan Susy dan suami mencapai Rp 60 juta per bulan dengan laba bersih Rp 18 juta. Laba tiap produk bervariasi, namun rata-rata sekitar 30 persen.
Tuban dan Surabaya masih jadi pasar utama. Keripik Gerus milik Susy dan suami bahkan jadi ikon oleh-oleh Tuban. Meski begitu, Susy dan suami mengincar pasar luar negeri yang banyak komunitas WNI seperti Hong Kong dan Malaysia. Kerap diajak menggelar pameran di luar kota oleh Semen Indonesia, Susy optimistis mimpi menembus pasar regional itu bisa terwujud.