Senin 18 Dec 2017 20:12 WIB

52 Persen Guru PAUD Belum Sarjana

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Dwi Murdaningsih
Siswa-siswi PAUD mengenakan batik untuk memperingati Hari Batik Nasional.
Foto: Rumah Zakat
Siswa-siswi PAUD mengenakan batik untuk memperingati Hari Batik Nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Indonesia, banyak yang belum bergelar sarjana. Dari 552.894 guru PAUD di Indonesia, yang sudah berkualifikasi sarjana hanya 47,79 persen. Jadi, sisanya sekitar 52 persen masih lulusan SMA.

Menurut Kepala PP PAUD dan Dikmas Jawa Barat, M Hasbi, untuk menghadirkan standar PAUD yang berkualitas dibutuhkan sumber daya manusia yang juga memiliki kualitas. Namun, berdasarkan pemetaan guru PAUD yang ada saat ini masih minim guru begelar sarjana, namun tidak sedikit yang bergelar sarjana non kependidikan, sehingga tidak memiliki latar belakang ilmu yang relevan dengan bidang tersebut.

"Maka kita berupaya bagaimana agar anak-anak kita ini bisa dipercayakan kepada guru PAUD yang kompeten, salah satunya dengan meningkatkan kualifikasi dan kompetensi mereka dengan pendidikan dan pelatihan. Sehingga mereka bisa memberikan pelajaran yang berkualitas bagi anak didik kita," ujarnya.

Salah satu kendala yang dihadapi yaitu, keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah untuk mendukung PAUD dan Dikmat. Selain itu, penyebaran guru-guru PAUD yang berlokasi di daerah-daerah peloso. Ketiga, sulitnya memperoleh konten pembelajaran terkini yang di luncurkan pemerintah.

Setelah mempelajari hal tersebut, maka teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi solusi yang paling memungkinkan dari permasalahan selama ini.

Oleh sebab itu, sejak tahun 2015, pihaknya telah memulai melakukan intervensi TIK untuk meningkatkan kompetensi guru-guru PAUD di Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Melalui diklat pendidikan daring.

Pada 2018, ditargetkan 10 ribu tenaga pendidik baru berkualifikasi yang lahir dari program diklat seperti ini.

"Undang-undang memang mengatakan guru PAUD harus sarjana, sebelum bergelar sarjana, kita upayakan kompetensinya sebelum kualifikasinya. Saat ini kita sudah merancang sebuah program yang bernama rekognisi validasi dan sertifikasi," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement