Rabu 20 Dec 2017 09:10 WIB

Setelah Veto AS, Majelis Umum PBB Adakan Pertemuan

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
Pengunjuk rasa melambaikan bendera Palestina saat terjadi bentrokan di dekat perbatasan dengan Israel di timur Kota Gaza, Jumat (15/12). Demonstran memprotes keputusan Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Foto: EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Pengunjuk rasa melambaikan bendera Palestina saat terjadi bentrokan di dekat perbatasan dengan Israel di timur Kota Gaza, Jumat (15/12). Demonstran memprotes keputusan Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

REPUBLIKA.CO.ID,  JENEWA - Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara akan mengadakan sidang darurat untuk membahas krisis Yerusalem, pada Kamis (21/12). Pertemuan ini dilakukan atas permintaan negara-negara Arab dan Muslim setelah Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Utusan Palestina untuk PBB Riyad Mansour mengatakan Majelis Umum akan melakukan pemungutan suara untuk rancangan resolusi yang menyerukan agar pengakuan Trump ditarik. Resolusi ini diveto oleh AS di Dewan Keamanan PBB, pada Senin (18/12).
 
Sebanyak 14 anggota Dewan Keamanan lainnya telah mendukung resolusi yang diajukan Mesir itu. Mereka menyatakan penyesalan mendalam atas pengakuan baru-baru ini mengenai status Yerusalem.
 
Mansour mengatakan, dia berharap akan ada dukungan luar biasa di Majelis Umum untuk resolusi tersebut. Pemungutan suara semacam itu tidak mengikat, namun akan membawa bobot politik.
 
Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley memperingatkan, AS akan mengingat negara-negara yang mendukung resolusi dan mengkritik keputusan AS.
 
"Di PBB kami selalu diminta untuk berbuat lebih banyak dan memberi lebih banyak. Jadi, ketika kami membuat keputusan, atas kehendak kami untuk menempatkan kedutaan kami, kami tidak mengharapkan negara yang telah kami bantu untuk menargetkan kami. Akan ada pemungutan suara yang mengkritik pilihan kami. AS akan mengingatnya," kata Haley.
 
Di bawah resolusi tahun 1950, sidang darurat dapat diminta agar Majelis Umum PBB bisa mempertimbangkan suatu masalah, dengan maksud untuk memberikan rekomendasi yang sesuai, jika Dewan Keamanan gagal bertindak.
 
Baru ada 10 sidang darurat yang telah diadakan oleh Majelis Umum. Terakhir kali Majelis Umum bertemu dalam sidang tersebut pada 2009 untuk membahas masalah Yerusalem Timur yang diduduki.
 
Trump tiba-tiba membalikkan kebijakan AS yang telah diterapkan selama beberapa dekade, ketika dia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusan ini menimbulkan kemarahan dari orang-orang Palestina dan dunia Arab, serta keprihatinan dari sekutu AS di Barat.
 
Trump juga berencana memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Rancangan resolusi PBB menyerukan agar semua negara menahan diri untuk tidak mendirikan misi diplomatik di Yerusalem.
 
Haley mengatakan, resolusi tersebut diveto di Dewan Keamanan untuk membela kedaulatan AS dan peran AS dalam proses perdamaian Timur Tengah. Dia mengkritik resolusi itu sebagai penghinaan untuk Washington dan membuat malu anggota dewan.
 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement