Jumat 22 Dec 2017 04:56 WIB

HNW: AS tidak Pantas Lagi Jadi Rujukan Demokrasi

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Bayu Hermawan
Hidayat Nur Wahid (HNW) saat melakukan sosialisasi empat pilar di Yayasan Alfida, Bengkulu, Kamis (21/12).
Foto: Republika/Rahma Sulistya
Hidayat Nur Wahid (HNW) saat melakukan sosialisasi empat pilar di Yayasan Alfida, Bengkulu, Kamis (21/12).

REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mengatakan, Indonesia harus terus melakukan peran strategisnya dalam membela kemerdekaan Palestina, karena Indonesia diterima sangat baik oleh negara-negara Barat dan OKI. Sementara Amerika Serikat (AS), HNW menilai semakin menunjukkan bahwa mereka tidak pantas lagi menjadi rujukan demokrasi.

"Amerika semakin membuka dirinya bahwa dia tidak pantas lagi menjadi rujukan demokrasi, apalagi untuk menghadirkan perdamaian di Timur Tengah," ujar Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) di Bengkulu, Kamis (21/12).

Baginya, dengan diterimanya Indonesia dengan baik di dunia Barat, menjadi kesempatan emas untuk tunjukkan janji Indonesia pada Palestina. Indonesia diminta HNW, agar jangan sampai kendor. Ini momentum baik untuk lakukan reformasi bagi PBB dalam menghadirkan organisasi intenasional yang betul-betul adil dan beradab.

HNW mengapresiasi mereka yang menolak dengan tegas keputusan sepihak Donald Trump, terkait ibu kota Israel yang berpindah ke Yerusalem. Hari ini, Indonesia mengajak OKI dan negara lain untuk bersatu-padu dalam menguatkan posisi dalam sidang umum, sekaligus untuk lobi penguatan agar OKI menolak keputusan Trump.

"Saya kira ini momentum yang baik bagi bangsa-bangsa di dunia untuk membuat tata dunia baru yang kemudian menghadirkan keadilan bagi semua negara diluar Amerika dan Israel. Agar seluruh bangsa bisa menegakkan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), hukum internasional, kedaulatan negara, juga saling tolong-menolong dalam ekonomi," jelas Wakil Ketua Majelis Syuro PKS itu.

AS, dikatakan HNW, harus kembali dalam kesadaran dasarnya, sebagai negara berdaulat dan jangan merendahkan diri dengan menjadi tersandra oleh Israel. Ini sudah tersandera, AS juga melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan demokrasi dan bertentangan dengan hukum internasional.

Apa yang dilakukan Presiden AS ini melenceng dan mengingkari prinsip-prinsip tentang kedaulatan internasional, termasuk prinsip-prinsip dasar demokrasi. Ini akan menjadi sangat aneh negara yang katanya demokrasi tapi malah membuat keputusan sepihak.

Apalagi keputusan itu bertentangan dengan resolusi lembaga-lembaga internasional, termasuk PBB. Bahkan AS juga mengancam mencabut bantuan untuk Palestina, bagi negara yang setuju dengan resolusi untuk menolak klaim sepihak terhadap Trump. Untuk diketahui, Trump telah mengumumkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Rabu (6/12).

"Sudah waktunya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel," katanya ketika membuat pengumuman di Gedung Putih.

Keputusan ini segera ditolak dan dikritik oleh dunia internasional, terutama negara-negara Arab. Keputusan Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dinilai sebagai sebuah kesalahan fatal dan jelas melanggar kesepakatan dan resolusi internasional.

Seusai Trump mengumumkan pemerintahnya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres segera mengkritik keputusan tersebut. "Saya telah secara konsisten berbicara menentang tindakan sepihak yang akan membahayakan prospek perdamaian bagi rakyat Israel dan Palestina," ujarnya.

Dewan Keamanan PBB akan menggelar pertemuan pada Jumat (8/12). Pertemuan ini secara khusus akan membahas perihal keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Pertemuan oleh Dewan Keamanan PBB ini dilakukan atas permintaan delapan negara anggotanya, yakni Prancis, Bolivia, Mesir, Italia, Senegal, Swedia, Inggris, dan Uruguay. Negara-negara tersebut menilai penting untuk membahas keputusan Trump mengingat status Yerusalem termaktub dalam resolusi Dewan Keamanan PBB.

Pada Desember 2016, Dewan Keamanan PBB mengadopsi sebuah resolusi berkaitan dengan Yerusalem. Resolusi tersebut berbunyi, PBB tak akan mengakui adanya perubahan pada batas 4 Juni 1967, termasuk mengenai Yerusalem, selain yang disetujui oleh para pihak melalui perundingan. Resolusi ini disepakati oleh 14 suara anggota. Adapun mantan presiden AS Barack Obama kala itu lebih memiliih absen.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement