REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan ada konsekuensi logis dengan turunnya para jenderal baik dari Polri dan TNI di Pilkada Serentak 2018. Di saat citra institusi TNI sentimennya positif yaitu, lembaga yang paling dipercaya publik, parpol mengambil momentum tersebut mengusung jenderal aktif maupun yang sudah purnawirawan.
Kelebihan pemimpin dari TNI dan Polri karena sosok ketegasan dan soal kedisiplinan. Namun pada saat yang sama ada kelemahan yaitu karakter pemimpin garis komando, muncul persoalan bagaimana mereka menyesuaikan dengan ritme tata cara kerja sipil, kepemimpinan latar belakang sipil dengan pola kerja garis putus putus, egaliter dan berbasis konsensus.
Lanjut Pangi, Demokrasi memberi peluang bagi setiap warga negara untuk ikut berkontestasi. Saya tidak memperkarakan purnawirawan atau TNI dan Polri yang sudah pensiun, karena mereka adalah warga negara biasa, dan punya hak memilih dan dipilih. Namun yang jadi soal adalah TNI dan Polri masih aktif. Mereka belum wajib pensiun karena belum terdaftar sebagai pasangan calon.
"Namun sudah berselancar dengan melakukan manuver politik dan curi start kampanye terselubung dengan memakai seragam prajurit. Yang tak boleh adalah menggunakan jejaring institusi militernya untuk dijadikan sebagai komoditas politik pemenangan," kata Pangi dalam rilisnya, Sabtu (6/1).
Memang terjunnya TNI dan Polri ke gelanggang politik bukan fenomena baru. Saat era demokrasi terpimpin ada segi tiga emas kekuatan politik yaitu Soekarno, PKI dan Angkatan Darat. Akan tetapi, saat kekuatan politik Soekarno dan PKI melemah, muncul kekuatan pemenang yaitu angkatan darat.
Sejak itu militer mulai berpolitik praktis lewat kendaraan sekber Golkar, tidak mengaku sebagai partai politik namun mendukung pemerintah, mesin Golkar pada waktu itu digerakkan para jenderal. Oleh karena itu, berbicara sistem politik Indonesia tidak bisa lepas dari peran militer dalam kancah politik itu sendiri.
Pangi mengingatkan, sekali lagi partai politik jangan coba-coba bermain mata dengan prajurit aktif, menarik-narik dan menggoda TNI untuk masuk ke gelanggang politik. Termasuk tidak menarik-narik, menggoda atau merayu-rayu Aparatur Sipil Negara (ASN) ke ranah politik praktis.
"Ini pertaruhan yang maha berbahaya dan tidak main-main. Bagaimana kita menjaga dan mengingatkan kembali agar TNI/Polri dan ASN menjaga netralitas. Ciri-ciri keterlibatan militer dalam politik patut kita curigai," tutup Pangi yang juga dosen di Universitas Bung Karno (UBK) ini.