Senin 15 Jan 2018 17:15 WIB

Mengakikahkan Anak

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko
Akikah
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Akikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anak adalah anugerah Allah yang diberikan kepada setiap umat manusia. Setiap orang akan berusaha keras untuk bisa mendapatkan anak untuk menjadi generasi penerus di kemudian hari. Dan, ketika mereka telah dilahirkan, dianjurkan bagi setiap Muslim untuk memberikan kepadanya nama-nama yang baik. Dan, saat memberikan na ma itu, sekalian disunahkan untuk menyembelih hewan berupa kambing sebagai akikahnya.

Akikah merupakan sunnah mu’ak kad (sangat dianjurkan) bagi mereka yang mampu. Menurut jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabiin, dan orang yang hidup setelah mereka, aki kah disunahkan bagi anak laki-laki dan perempuan.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seorang anak yang baru lahir itu tergadai dengan akikahnya, maka sembelihkan kambing untuknya, dicukur ram butnya dan diberi nama.” (HR Nasa’i, Abu Dawud, dan Ahmad).

Berapakah jumlah kambing yang harus dijadikan kurban akikah? Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Ada yang menyatakan cu kup satu ekor untuk anak laki-laki, dan seekor pula buat anak perempuan. Na mun, ada pula yang menyatakan dua ekor kambing untuk anak laki-laki, dan seekor kambing untuk anak perempuan. Dalam sebuah hadis yang diriwa yat kan dari Ibnu Abbas RA, ia menceri ta kan bahwa “Rasul SAW pernah meng akikahkan Hasan dan Husain, ma sing-masing satu ekor domba.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa’i, dan Tirmidzi).

Dari Ummu Karaz al-Ka’biyah RA, dia menceritakan, Aku pernah men dengar Rasul SAW bersabda; “Bagi anak laki-laki dua ekor kambing yang berdekatan (umur dan besarnya), se dangkan untuk anak perempuan se ekor kambing.” Pendapat yang kedua ini lebih banyak disetujui para ulama, yakni dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak pe rempuan.

Adapun waktu melakukannya ada lah pada hari ketujuh, ke-14, ke-21, atau ke-28. “Akikah itu disembelih pada hari ketujuh, ke-14, dan atau ke- 21.” (HR Baihaqi). Lalu, bagaimana ka lau tidak mampu dan baru melaksanakan setelah sang bayi berusia lebih dari setahun, dua tahun, atau bahkan sudah dewasa?

Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Al-Rafi’i berpedapat, “Jika seseorang mengakhirkan akikah sampai usia baligh, gugurlah kewajiban akikah baginya.” Sedangkan al-Qafal dan al-Syasyi menganjurkan untuk tetap melaksanakannya.

Mengenai pendapat tentang keharusan untuk mengakikahi dirinya sendiri setelah dewasa bilamana dia telah mampu sebagaimana hadis Nabi SAW yang bersabda; “Akikahilah untuk dirinya sendiri setelah kelahirannya,” menurut Syekh Kamil Muhammad Uwaidah dalam kitabnya al-Jami’ fi Fiqhi an-Nisa, tidak bisa dibenarkan. Alasannya, kata Syekh Kamil, hadis di atas dinyatakan oleh Imam Baihaqi sebagai hadis munkar, karena di sana terdapat periwayat hadis yang bernama Abdullah bin Muharrar yang telah di sepakati oleh para ahli hadis atas ke dhaifannya (lemah).

Imam Hanafi dan para pengikutnya menyatakan, kebolehan menyatukan akikah dengan kurban saat Idul Adha. Hewan itu selain kurban juga untuk akikah, sebagaimana disunahkan man di Jumat sekali saja, jika lebaran (Idul Fitri atau Idul Adha) pada hari Jumat. Bagaimana bila tidak mampu untuk berakikah? Dalam masalah ini, Syekh Kamil berpendapat, tidak mengapa sebab hukum akikah itu hanya sunnah mu’akkaddan itu jika mampu. Apabila tidak mampu, tidak apa-apa. Wallahu a’lam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement