Selasa 16 Jan 2018 17:30 WIB

Mengenang Sang Pejuang

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Pangeran Diponegoro
Foto: Dok Republika
Pangeran Diponegoro

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada awal pekan ini, 8 Januari 2018, dihelat Haul ke-162 Pangeran Diponegoro di pelataran Masjid Riyadul Jannah, Jakarta Pusat. Acara ini diselenggarakan pihak keluarga keturunan Pangeran Diponegoro yang berdarah Makassar, Hj Andi Mariam Yusup Diponegoro. Hadir dalam kesempatan ini, antara lain, sejarawan Anhar Gonggong, pengurus Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI) Lily Wahid, dan intelektual Nahdlatul Ulama (NU) Ahmad Baso.

Dalam kesempatan ini, Anhar Gonggong mengungkapkan, nilai kepahlawanan secara umum dapat dimaknai sebagai pengorbanan. Sebagai seorang ningrat, menurut akademisi Universitas Indonesia (UI) ini, Pangeran Diponegoro dapat hidup nyaman secara duniawi di lingkungan keraton.

Namun, jiwa sang pangeran sejak kecil dididik untuk berempati terhadap kesengsaraan rakyat. Hal ini berkat tempaan sang nenek buyut di Tegalreja, yang juga mendekatkannya dengan kalangan alim ulama. Prinsip kuat agama dan empati sosial ini, kata dia, yang men- jadi penghalang bagi Belanda untuk menggempur perlawanan sang pangeran yang didukung total rakyat.

Sebenarnya, tanpa harus melawan Belanda, Diponegoro sudah hidup enak bersama keluarga besarnya. Namun, dia memilih melawan akibat ketidakadilan dan kemiskinan yang kian menyengsarakan kaumnya, katanya.

Lily Wahid senada dengan Anhar Gonggong. Menurut adik presiden RI Abdurrahman Wahid (alm.) ini, perjuangan Pangeran Diponegoro harus dilanjutkan oleh generasi In- donesia sekarang, terutama soal kedaulatan rakyat. Menurut Lily, saat ini Indonesia belum berdaulat penuh, apalagi setelah amandemen terjadi atas UUD 1945 yang asli.

"Kita harus mewaspadai konspirasi internasional yang ingin memecah belah NKRI menjadi 17 negara bagian, kita jangan terlena dan terbuai. Ini (perpecahan --red)yang kemudian dilawan oleh para pahlawan nasional," katanya.

Selanjutnya, Ahmad Baso menjelaskan, besarnya pengaruh dunia pesantren bagi pemikiran dan per- juangan Pangeran Diponegoro.Babad Diponegoro yang ditulis dengan pegon jelas menunjukkan hal itu. Sebab, aksara tersebut yang sesungguhnya meminjam aksara Arab jamak dipakai kalangan santri sejak abad silam. Tokoh muda NU ini lantas meminta gen- erasi muda agar kembali mempela- jari sejarah Pangeran Diponegoro tetapi dengan menghindari terhadap sudut pandang orientalis yang cen- derung mengabaikan peran Islam.

Sementara itu, Amar Ahmad, putra dari Hj Andi Mariam Yusup Diponegoro, berpandangan, tantan- gan kini bagi bangsa Indonesia adalah persatuan. Untuk itu, gen- erasi muda diharapkan tidak melu- pakan jasa dan semangat para pahlawan.

Kita mendorong agar generasi muda saat ini tidak mudah melu- pakan semangat para pahlawan na- sional yang telah berjasa besar dalam merebut kemerdekaan," ujar keturunan kelima Pangeran Diponegoro itu dari silsilah Raden Abdul Gani. Tokoh ini merupakan putra sang pangeran dengan Raden Ayu Ratnaningsih yang juga wafat seba- gai tahanan Belanda di Makassar, Sulawesi Selatan.

(Baca Dulu: Pangeran Diponegoro)

(Baca Lagi: Melawan Penjajah dengan Tarekat)

(Baca Terus: Melawan Budaya Kolonial)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement