REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan impor 500 ribu ton beras yang diambil pemerintah lantaran kondisi beras yang langka. Ekonom Senior Indef Bustanul Arifin menyebut ada tiga faktor penyebab beras langka.
Faktor pertama adalah penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET), Bantuan Pangan Nontunai (BPNT), dan produksi.
"Berarti semuanya karena kebijakan pemerintah," ujar dia dalam acara diskusi bulanan yang diselenggerakan Ikatan Alumni (ILUNI) UI di Gedung Rektorat UI Salemba, Kamis (18/1).
Saat dikeluarkan HET, harga beras mulai merangkak naik dan berdampak pada kelangkaan beras medium. Bahkan bisa dibilang tidak ada. Hal itu karena penggilingan memilih mengolah gabah menjadi beras premium dengan harga yang lebih tinggi.
Sejak September, pihaknya bahkan telah mencoba meminta pemerintah untuk tidak menggunakan HET. Alasannya, pada saat itu masih merupakan masa transisi sehingga masyarakat perlu beradaptasi. Dengan penerapan HET Rp 9.450 per kg untuk beras medium dan Rp 12.800 per kg untuk beras premium nyatanya membuat beras medium tidak ada di pasaran. "HET Rp 13.700 loh saya ambil data BPS," katanya.
Ia pun mengusulkan agar pemerintah memperbaiki produksi, melakukan revisi HET dan kemudian baru melakukan pemantauan secara ketat. Dengan begitu ia optimis polemik beras bisa teratasi dalam jangka panjang.
Senada dengan Bustanul, Zulkifli Rasyid, Ketua Umum Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang (KPIBC) yang telah berdagang selama 40 tahun di PIBC mengaku harga Januari ini adalah yang tertinggi. Harga beras di PIBC menyentuh Rp13 ribu hingga Rp 14 ribu per kg hari ini.
Ia pun meminta pemerintah mencabut ketetapan HET tersebut. "Dihapus saja karena tidak ada artinya," kata dia. Beras yang dijual nyatanya jauh berada di atas HET. Untuk beras kualitas medium dijual Rp 11 ribu per kg dari HET Rp 9.450 per kg. Begitu juga dengan harga beras premium yang kini Rp 13 ribu per kg dari HET Rp 12.800 per kg. Sebaiknya, kata dia, harga beras tersebut dikembalikan lagi ke pasar.