REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dikdik Dahlan Lukman *)
Menyapa adalah salah satu bentuk kepedulian, penghargaan, bahkan mungkin penghormatan seseorang yang dilakukan untuk saudara, teman, sahabat, atau hanya sekadar kenalan. Tujuannya agar mereka merasa dihargai dan karena itu mereka pun menjadi semakin erat dan akrab. Cara serta ekspresi orang ketika menyapa pasti berbeda-beda.
Perbedaan itu didasarkan perbedaan ajaran yang tertanam, baik ajaran agama, kepercayaan, maupun budaya yang dikembangkan dalam suatu komunitas. Islam mengajarkan bentuk sapaan itu dengan ucapan salam yang bagi kaum Muslimin. Salam itu bukan hanya berfungsi sebagai alat sapaan, melainkan sebuah syariat, doa, sekaligus penghormatan, yang dalam bahasa Alquran disebut tahiyyah (QS an-Nisa [4]: 86).
Bukti bahwa salam merupakan bagian dari syariah, Rasulullah mengajarkan ucapan salam itu secara pasti, yaitu "Assalaa mua laikum warahmatullahi wabarakaatuh". Salam dianjurkan untuk diamalkan, dihidupkan, disebarkan, dan dibiasakan oleh umatnya. Anjuran ini bahkan dijelaskan secara perinci kepada siapa, kapan, bagaimana, dan siapa yang seharusnya memulai memberi salam serta keuntungan yang bakal didapat dari mengucapkan salam.
Karena sebagai sebuah syariat, insya Allah orang yang mengamalkan anjurannya mendapat pahala dan digolongkan sebagai amalan ibadah. Karena sebagai sebuah syariat pula, seyogianya ucapan salam itu tidak perlu diubah, baik dengan pengurangan maupun penambahan dari yang dianjurkan oleh Rasulullah. Apa yang dianjurkan oleh Rasulullah insya Allah merupakan yang terbaik untuk umatnya.
Salam juga adalah doa. Ucapan salam yang diajarkan Rasulullah itu memiliki arti "Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah dianugerahkan Allah kepada kalian." Ada tiga permintaan yang langsung dialamatkan kepada Allah untuk setiap orang yang disapa, yaitu keselamatan, kasih sayang (rahmat), dan keberkahan Allah. Berkah, dalam kacamata para ulama, terutama Imam Nawawi, Imam Ghazali, dan Imam Qurthubi adalah tumbuh dan berkembangnya kebaikan.
Dalam lantunan sebuah salam, setidaknya berisi doa agar Allah melimpahkan keselamatan dan rahmat-Nya, kemudian menambahkan kebaikan-Nya pula dari keselamatan dan rahmat yang diberikan tersebut. Dalam salam, terkandung doa yang tidak mungkin orang tidak mau menerimanya. Semua orang mukmin pasti berkeinginan mendapatkan keselamatan, kasih sayang Allah, dan keberkahan itu, tanpa kecuali.
Dalam surah an-Nisa ayat 86, Allah SWT berfirman "Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu." Hampir keseluruhan mufasir memaknai kata tahiyyah dalam ayat ini dengan penghormatan yang di antara bentuknya adalah ucapan salam itu. Artinya, ketika seseorang mengucapkan salam kepada mitranya, sesungguhnya ia sedang memberikan penghormatan.
Penghormatan dalam bentuk jaminan bahwa ia akan menjunjung tinggi nilai-nilai keselamatan dan kedamaian dengan mitranya sesuai dengan makna salam sebagaimana diungkapkan oleh Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalal Qur'an atau juga makna tahiyyah sebagaimana dikemukakan oleh Qurais Shihab yang mengatakan bahwa kata ini digunakan untuk menggambarkan segala macam penghormatan, baik dalam bentuk ucapan maupun selainnya.
Tidaklah pantas seseorang mengucapkan salam kepada mitranya, tetapi ia tetap berdusta, berbuat licik, menyakiti hatinya, baik dengan lisan, perbuatannya, maupun aktivitas lainnya yang menyebabkan terenggutnya rasa aman, kenyamanan, ketenteraman, dan kedamaian hidup mitra yang diberi salam itu.
Ketika seseorang mengucapkan salam kepada mitranya harus dipahami bahwa ketika itu ia sudah memberikan jaminan kepada yang diberi salam bahwa ia tak mungkin melakukan hal-hal yang menjadikannya tidak merasa selamat, tidak aman, dan tidak nyaman. Inilah barangkali hakikat tahiyyah (penghormatan) dalam salam. Pantas sekali mengapa Allah menyuruh membalas setiap lantunan salam yang didengar.