REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- “Bila saya lulus ujian nasional maka saya akan berpuasa Dawud,” kata seorang pelajar seko lah tingkat menengah atas, kepada gurunya. Ungkapan itu ia sampaikan sebagai bentuk syukur apabila ha rapan dan doanya itu terkabul.
Berjanji pada diri sendiri untuk mengerjakan suatu hal bila keinginan ataupun kesuksesannya tercapai adalah termasuk dalam kategori nazar. Nazar, seperti dikutip dari buku Al Jami’ fi Fiqh An Nisa’ pada dasarnya ialah mewajibkan pada diri sendiri perkara yang belum pernah disyariatkan kepadanya.
Niat tersebut hukumnya wajib dilaksanakan menurut Islam. Dengan ca tatan, jenis pekerjaan yang ia nazar kan bukan perbuatan yang dilarang dalam agama. Sebagaimana hadis riyawat Bukhari, Abu Daud, Nasai, dan Ibnu Majah. “Barang siapa bernazar untuk berbuat taat kepada Allah maka hendaklah ia berbuat taat kepada-Nya dan barang siapa bernazar untuk tidak maksiat kepada-Nya maka hendaklah ia tidak berbuat maksiat kepada-Nya.” Ketentuan nazar tersebut berlaku baik untuk laki-laki ataupun perempuan.
Dr Abdul Karim Zaidan dalam bu kunya Al Mufashal fi Ahkam Al Mar’at, mengatakan bahwa tidak ada perbedaan ketetapan nazar antara Muslim dan Muslimah. Apa yang diterapkan bagi laki-laki juga ditetapkan bagi perempuan. Demikian halnya, tidak ada pengecualian atau dispensasi berdasarkan gender.
Mengutip pendapat Ibn Hazm, bahwa nazar laki-laki atau perempuan sama saja. Entah lajang atau bersuami, punya orangtua atau tidak, hamba sahaya atau mereka yang bebas, semuanya bila telah meng ucapkan nazar, maka berke wajib an memenuhinya.