REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Apakah Anda pernah mengucap nazar? Nazar kerap diucapkan ketika seseorang memiliki keinginan. Jika keinginan tersebut terwujud, maka nazar tersebut harus ditunaikan.
Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta, Ustadz Irfan Helmi, mengungkapkan nazar adalah seseorang yang mewajibkan sesuatu yang tidak wajib kepada dirinya karena suatu peristiwa. Misalnya, bernazar akan mentraktir teman-teman apabila lulus ujian.
Menurut Ustadz Irfan, hukum nazar wajib ditunaikan. Dalam Alquran disebutkan dalam surah al-Hajj ayat 29:
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka”.
“Jadi nazar sendiri, ini kata Imam Syaukani, itu hukum asalnya makruh, orang berbuat nazar itu makruh. Tapi kalau sudah terlanjur dia bernazar maka wajib untuk ditunaikan,” ujar Ustaz Irfan saat dihubungi Republika.co.id, Senin (22/4/2024) malam WIB.
Dia mengatakan, nazar dibolehkan oleh syariat. "Kalau misalnya saya bernazar akan mencuri, itu tidak boleh atau saya akan bernazar berjudi, ya itu tidak boleh karena itu semua nazar yang munkar. Nazar yang munkar itu haram untuk ditunaikan,” jelas Ustadz Irfan.
Selanjutnya, Ustadz Irfan menyebutkan dalil mengenai hukum asalnya nazar itu makruh adalah Abu Hurairah mengatakan Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
لاَ تَنْذُرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لاَ يُغْنِى مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Janganlah bernazar karena nazar tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang pelit”. (HR Muslim).
“Dia hanya akan melakukan sesuatu yang secara syariat itu dibolehkan, tetapi dikaitkan dengan sesuatu peristiwa tertentu. Misalnya itu tadi, dia ngetraktir orang ya, kalau dia lulus, kalau calon kandidat yang dia jagokan itu menang misalnya, dia terus bernazar, itu berarti dia pelit. Karena dia mau berbuat baik saja harus dikaitkan dengan sesuatu peristiwa, misalnya begitu,” kata Ustadz Irfan.
“Itu kenapa kawan Nabi menyebutkan hanyalah orang yang nazar itu muncul atau keluar dari orang yang bakhi,” ujarnya.
Seperti yang sudah disebutkan, orang yang sudah bernazar wajib melakukan nazarnya. Lalu, bagaimana seandainya nazar itu tidak dilakukan? Ustadz Irfan menyebutkan orang yang sudah bernazar tetapi tidak melakukan nazarnya, maka dia berdosa dan wajib membayar tebusan atau kafarat.
Menurut Ustadz Irfan, kafarat itu dalam Alquran dijelaskan ada beberapa macam. “Pertama, kafaratnya dia membebaskan budak. Kalau tidak bisa, maka dia berpuasa dua bulan berturut-turut,” ujarnya.
Selain itu, dai di Jabodetabek ini juga menuturkan apa yang perlu diperhatikan sebelum seseorang mengucapkan nazar. Pertama, seseorang hendaknya tidak mudah bernazar, tidak menggampangkan untuk bernazar. Sebab hukum asal nazar itu makruh.
Kedua, kalau sudah terlanjur bernazar, nazar tersebut wajib ditunaikan. Di sisi lain, Ustadz Irfan menyampaikan tidak ada korelasi antara orang yang bernazar dengan keinginan seseorang itu akan dikabulkan oleh Allah SWT. Apabila dia terlanjur bernazar, maka wajib menunaikan nazar tersebut. Kalau baru niat dalam hati, tutur Ustadz Irfan, maka sebaiknya tidak usah diucapkan.
Macam-macam nazar
Ustadz Irfan menyebutkan macam-macam nazar. Pertama, nazar ketaatan. Salah satu contohnya adalah seseorang bernazar untuk haji.
Nazar tersebut harus dilaksanakan. Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda “Barang siapa yang bernazar untuk taat kepada Allah, hendaklah ia melaksanakannya, dan barang siapa yang bernazar untuk bermaksiat, maka janganlah (nazar itu) dilaksanakannya”. Sabda Rasulullah ini dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari-Muslim dari Aisyah.
Kedua, nazar yang tidak boleh ditunaikan dan dia wajib membayar tebusan. Yang termasuk nazar ini adalah nazar kemaksiatan. Misalnya, seseorang bernazar untuk berzina, mencuri, merampok, dan lain-lain.
Dalilnya yang sudah disebutkan tadi, yaitu Nabi Muhammad SAW bersabda “Barang siapa yang bernazar untuk taat kepada Allah, hendaklah ia melaksanakannya, dan barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat, maka janganlah (nazar itu) dilaksanakannya”.
Selain itu, contoh atau bentuk nazar yang tidak boleh ditunaikan yaitu semua nazar yang kontradiksi dengan nafs atau hawa nafsu. “Misalnya, seorang Muslim bernazar, kemudian dia tahu bahwa nazar ini bertentangan dengan nafs yang shahih dan jelas. Nah ini, maka ini hukumnya tidak boleh,” katanya.
Contohnya, seseorang bernazar untuk itikaf. Itikaf dilaksanakan di masjid, namun dia itikaf di mushola, di pasar, di alun-alun. Hal ini bertentangan dengan nafs yang shahih.