Senin 22 Jan 2018 16:45 WIB

Nazar Almarhumah, Bagaimana Hukumnya?

Ada beberapa hadis yang menjelaskan tentang solusi hukum atas nazar itu.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Umat Islam melaksanakan shalat berjamaah di Masjid Baiturrahim, Gorontalo (ilustrasi).
Foto: Antara/Adiwinata Solihin
Umat Islam melaksanakan shalat berjamaah di Masjid Baiturrahim, Gorontalo (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA --  Dr Abdul Karim Zaidan dalam bu kunya Al Mufashal fi Ahkam Al Mar’at,  menjelaskan, salah satu syarat bagi nadzir (pelaku nazar) adalah kemampuan melaksanakan perbuatan yang ia nazarkan. Lantas bagaimana dengan hukum seseorang Muslimah yang bernazar, namun ia meninggal dunia sebelum nazarnya terlaksana?

Terkait ini ada beberapa hadis yang menjelaskan tentang solusi hukum atas nazar itu. Salah satunya ialah hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas RA bahwa Sa’ad bin Ubadah pernah meminta fatwa kepada Rasulullah, “Ibuku telah meninggal dunia sedang dia mempunyai kewajiban nazar yang belum ia tunaikan?” Maka Rasulullah bersabda, “Tunaikanlah untuknya.”

Riwayat lain menyebutkan, seseorang pernah mendatangi Rasulullah dan menanyakan perihal saudaranya yang nazar berangkat haji, namun ia meninggal sebelum nazarnya terpenuhi. Rasulullah berkata, “Bila ia berutang, bukankah engkau wajib membayar untuknya?” Ia mengiyakannya. Kemudian Rasulullah mengata kan, “Tunaikanllah karena hak-hak Allah lebih patut ditunaikan.”

Berdasarkan hadis di atas, Mazhab Dhahiri berpendapat bahwa siapa pun tak terkecuali perempuan yang ber nazar lalu meninggal dunia dan belum terlaksana maka walinya lah yang berkewajiban menunaikan nazar ter sebut. Baik nazarnya berupa shalat, puasa, haji, atau umrah, serta segala jenis kebaikan yang dinazarkan. Bila wali menolaknya maka ia bisa membayar seseorang dari harta warisannya agar melaksanakan nazar itu. Pen dapat yang sama diutarakan oleh ula ma dari kalangan Mazhab Hanbali. Ibnu Quddamah mengisyaratkan hal itu dalam kitabnya Al Mughni.Menu rutnya, bila Muslimah belum sempat mengerjakan apa yang ia nazarkan maka kewajiban itu ada di tangan wali. Lebih utama dikerjakan oleh ahli wa risnya. Tetapi, tidak menutup ke mungkinan pula didelegasikan ke orang lain.

Sedangkan, Imam Ahmad sendiri menggarisbawahi, bahwa bila yang ia nazarkan ialah shalat maka bagai mana pun tidak boleh digantikan. Sedangkan, selain shalat, bisa di alihkan ke wali. Status hukum pelaksanaan nazar tersebut bagi wali, menurutnya, tak lagi wajib. Melainkan berubah menjadi sunat dan bentuk perbuatan baik saja.

Persoalan selanjutnya, ialah bagai mana dengan nazar almarhumah yang terkait dengan harta? Misalnya, nazar membelikan emas bagi anak. Bila yang bersangkutan meninggal dunia maka menurut mayoritas ulama, pembelian barang tersebut diambil dari harta warisannya sekalipun almar humah tidak meninggalkan wasiat terkait nazarnya itu. Kecuali, bila Mus limah tersebut bernazar saat sekarat maka biayanya diambil dari sepertiga hartanya.

Sedangkan, Mazhab Maliki dan Hanafi menetapkan syarat mutlak penggunaan harta warisan untuk pelaksanaan nazar harus ada wasiat dari almarhumah. Dan, masih me nurut kedua Mazhab ini, jika almar humah tidak meninggalkan harta yang cukup untuk pelaksanaan nazar itu maka ahli warisnya tidak berkewajiban menu naikan nazarnya. Kecuali, bila mereka berniat secara sukarela.

(Baca: Bernazar)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement