REPUBLIKA.CO.ID, Laporan wartawan Republika, Fitriyan Zamzami dari Papua
Leo Berpit seperti sudah tak asing dengan mala. Pria suku Asmat berusia sekitaran 40 tahun ini nampak tenang menunggui putranya, Barnabas Berpit (3 tahun) yang terbaring di RSUD Agats, Kabupaten Asmat, Kamis (25/1).
Baru dua hari yang lalu, tutur Leo, putranya dibawa dari Kampung Aswed, Distrik Suru-Suru, sekitar empat jam perjalanan dengan perahu cepat dari Agats. “Dia sudah tidak bergerak,” kata Leo menceritakan kondisi putranya saat tiba di rumah sakit saat ditemui Republika.co.id di RSUD Agats, Kamis (25/1).
Sembari bercerita, Barnabas enggan lepas dari pelukan ayahandanya, menggelayut dengan lemas setelah berhasil dipulihkan dokter. Lengan dan kakinya kurus tak berisi, perutnya membuncit. Diagnosis dokter, Barnabas terkena malanutrisi.
Di ranjang rumah sakit yang sama, tergeletak juga Mario Berpit (2) putra lain dari Leo. “Waktu Barnabas bisa bangun, Mario yang tidak bisa bergerak,” kata Leo yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga kerja bongkar muat (TKBM) angkutan sungai. Di ranjang sebelah, terbaring juga Friskila Berpit (5), yang tak lepas dari pantauan Yolana, istri Leo.
Bukan hanya tiga yang terbaring kemarin anak-anak Leo dan Yolana. Mereka sedianya punya delapan anak. Dua di antaranya sudah berpulang lebih dulu. Marta, putri paling tua Leo, berpulang akibat sakit yang tak sempat diobati dalam usia remaja. Sedangkan satu anaknya meninggal di kandungan.
Kisah orang tua yang kehilangan purta-putri mereka, sayangnya, bukan hal yang jarang betul terjadi di Asmat. Tak jauh dari lokasi putra-putri Berpit dirawat, terbaring juga Damiana Bakan (38 tahun).
Ia tak berbicara banyak. Tatapan matanya kerap kosong. Dibiarkannya, bayinya yang masih terbungkus kain di samping. “Saya lupa dia punya nama,” kata Damiana.
Dalam kalimat yang terpatah-patah, ia menuturkan telah kehilangan tiga orang anak dari sembilan yang ia lahirkan. Damiana berasal dari Distrik Pulau Tiga, yang berlokasi sekira delapan jam perjalanan perahu cepat dari Agats.
RSUD Agats, memang lebih ramai belakangan. Ia kedatangan pasien-pasien yang terus mengalir sejak pemerintah menindaki wabah malanutrisi dan campak yang terjadi sejak September tahun lalu.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek melakukan kunjungan perdana ke Kabupaten Asmat terkait mewabahnya gizi buruk dan campak belakangan. Ia menekankan, persoalan tersebut tak bisa hanya diselesaikan menggunakan pendekatan kesehatan semata.
“Ini sudah kompleks sekali,” kata Menteri Kesehatan Nila F Moeloek saat menghadiri rapat kordinasi KLB di Agats, kemarin. Menurut Menkes, yang terjadi di Asmat tak bisa disebut sebagai 'tragedi kesehatan' karena persoalan kesehatan hanya di hilirnya saja.
Di balik itu, kata Nila, ada persoalan infrastruktur yang belum mencapai distrik-distrik di Asmat. Ada juga persoalan pendidikan dan kurangnya kesadaran berkesehatan.
“Pak Pendeta, Pak Pastur, mau tidak mau kita harus menekankan pentingnya hidup sehat,” pesan Menkes bagi para pemuka agama di Agats.
Ia mencontohkan, kebiasaan masyarakat Asmat mengutamakan ayah terkait distribusi makanan harus dihilangkan. “Semua keluarga penting, bukan bapaknya saja,” kata Menkes.
Menkes juga menyinggung loksai distrik-distrik yang terlampau jauh dari ibu kota kabupaten jadi salah satu halangan melayani kesehatan warga Asmat. Sementara sejauh ini, para warga Asmat masih enggan mengikuti saran pemerintah untuk merelokasi kediaman mereka. Menkes akhirnya meminta pihak-pihak terkait di Asmat untuk selekasnya mencari solusi-solusi jangka panjang terkait wabah di Asmat.
Sejauh ini, menurut Kepala Satgas Kesehatan KLB Asmat, Brigjen TNI Asep Setia Gunawan, sebanyak 70 orang tercatat telah meninggal. Tim-tim penanggulangan, kata danrem 174/ATW itu, telah disebar ke 20 distrik dari total 23 di Asmat.
Mereka juga terus mendata dan melakukan pencegahan serta mendistribusikan obat-obatan. Belakangan, kata Asep, tak hanya campak dan malanutrisi yang mewabah. Menurut dia, tim juga menemukan penyakit malaria, difteri, tetanus, dan cacingan.
Asep mengiyakan, transportasi dan komunikasi jadi salah satu kendala utama. Selain itu, kurangnya tenaga personel kesehatan juga membuat pergerakan guna menanggulangi wabah campak jadi terbatas.
Sehubungan penolakan relokasi, Asep mengatakan pihaknya saat ini akan melakukan pemetaan. Alih-alih memindahkan warga ke luar dari kampung mereka, pemerintah akan berupaya mencari lahan-lahan yang layak dijadikan ladang atau lokasi budi-daya ikan di distrik-distrik.