REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengaku siap dihukum mati jika terbukti menerima uang atau keuntungan dari KTP elektronik (KTP-el). Gamawan bersaksi untuk Setya Novanto yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan tipikor pengadaan KTP-el yang merugikan keuangan negara senilai Rp 2,3 triliun
"Itu fitnah kalau pernah saya ketemu itu hanya dugaan semua, saya siap dihukum mati," kata Gamawan dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (29/1).
Gamawan juga mengaku hanya sekali bertemu dengan pengusaha direktur PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos (yang juga salah satu vendor KTP-el). Dalam dakwaan Gamawan disebut mendapat ruko di Grand Wijawa dan sebidang tanah di jalan Brawijaya III melalui adik Gamawan Fauzi bernama Azmin Aulia dari Paulus Tannos.
Ia mengaku hanya bertemu Paulus Tannos sekali saat jadi gubernur di Sumatra Barat saat peresmian pembangkit listrik tahun 2007. "Saya ke Singapura juga dicurigai silakan saya bertanggung jawab saya tidak ada niat untuk mendapat satu sen pun," tambah Gamawan.
"Anda sebelumnya pernah mengatakan pernah mau dikutuk 7 turunan, sekarang siap dihukum mati. Pernah tidak bertanya ke adik saudara soal ruko dan tanah di brawijaya?" tanya majelis hakim.
"Begini yang mulia, saya minta jaksa sama-sama kita jujur, begitu Andi bicara saya panggil adik saya kenapa kau tidak komunikasi dengan saya. Saya demi Allah bawa bukti. Ini bukti pembelian tanah di Brawijaya berdua dengan Jhony G Plate, atas nama PT. Ini bukti transfer bank saya, ini bukti penerimaan Paulus. Yang mau membeli bukan kami, dia mau jual kepada kami karena kesulitan uang untuk membiayai karena pemerintah tidak kasih uang muka," jelas Gamawan.
Gamawan juga mengaku bukan ia yang menawarkan ruko tersebut dan ia membawa bukti notaris dan bukti transfer. Hal ini, lanjutnya, fitnah besar baginya.
"Fitnah ini keterlaluan bagi saya. Saya juga tidak pernah ke kantornya Azmin Aulia, kantor kami kan berbeda-beda, ruangan saja kami tidak tahu dan masing-masing saling menjaga," tegas Gamawan.
Dalam dakwaan, selain diduga menerima ruko dan tanah, ia juga disebut menerima uang sebesar Rp 50 juta. Ia juga membantahnya. Ia juga siap dibuktikan karena dua tahun sudah diperiksa dalam kasus ini.
"Satu sen pun tidak pernah demi Allah yang mulia. Ada tiga dosa besar, saya anak ulama, yang pertama syirik, kedua melawan orang tua, ketiga sumpah palsu, silakan buktikan, saya 2 tahun bolak-balik dipanggil terus begini," tambah Gamawan.
Dalam perkara ini Setnov diduga menerima 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-el. Setya Novanto menerima uang tersebut melalui mantan direktur PT Murakabi sekaligus keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo maupun rekan Setnov dan juga pemilik OEM Investmen Pte.LTd dan Delta Energy Pte.Lte yang berada di Singapura Made Oka Masagung.
Sedangkan jam tangan diterima Setnov dari pengusaha Andi Agustinus dan direktur PT Biomorf Lone Indonesia Johannes Marliem sebagai bagian dari kompensasi karena Setnov telah membantu memperlancar proses penganggaran. Total kerugian negara akibat proyek tersebut mencapai Rp 2,3 triliun.