REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko sebagai tersangka setelah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh tim satgas KPK terkait dengan perizinan dan pengurusan penempatan di Pemkab Jombang Jawa Timur pada Sabtu (3/2). Ketua DPD Partai Golkar Jatim itu tertangkap tangan menerima suap dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Pemkab Jombang Inna Silestyanti untuk memuluskan jalan Inna menjadi Kepala Dinas Kesehatan definitif.
"KPK meningkatkan status penanganan perkara dari penyelidikan ke penyidikan terhadap dua tersangka yakni diduga pemberi suap IS, Plt Kadis Kesehatan Pemkab Jombang dan penerima suap NSW, Bupati Jombang. Diduga pemberian uang dari IS kepada NSW agar ditetapkan sebagai kadis definitif, sekarang dia masih plt," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarief di Gedung KPK Jakarta, Ahad (4/2).
Syarief menuturkan, uang yang diserahkan Inna kepada Nyono diduga berasal dari kutipan jasa pelayanan kesehatan atau dana kapitasi dsri 34 Puskesmas di Jombang yang dikumpulkan sejak Juni 2017 sekitar total Rp 434 juta yang dibagi dalam tiga bagian yakni1 persen untuk Paguyuban Puskesmas se-Jombang, 1 persen untuk Inna, dan 5 persen untuk Nyono.
Selain itu, Inna juga membantu membantu penerbitan izin operasional sebuah rumah sakit swasta di Jombang dan meminta pungli izin. Dari izin pungli tersebut kemudian diserahkan kepada Nyono sebesar Rp75 juta.
Inna dikabarkan telah menyerahkan uang Rp200 juta kepada Nyono hingga Desember 2017. Uang suap itu, diduga kuat bakal digunakan Nyono untuk maju kembali sebagai calon pada Pilkada Jombang 2018.
"Diduga sekitar Rp50 juta telah digunakan NSW untuk membayar iklan terkait rencananya maju dalam Pilkada Jombang 2018," terang Syarief.
Atas perbuatannya, Nyono disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan Inna disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.