REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan manufaktur pesawat terbesar di Eropa, Airbus, menilai kawasan Asia Pasifik sebagai pasar utama karena perusahaan tersebut telah menyerahkan 367 pesawat baru kepada 50 operator di kawasan ini.
Airbus Executice Vice President Eric Schulz, dalam siaran pers, Kamis (8/2), mengatakan kawasan Asia Pasifik adalah pasar utama bagi Airbus karena telah berkontribusi hingga sepertiga total backlog, sepertiga total pemesanan, dan sepertiga total armada produk Airbus yang beroperasi saat ini. Berdasarkan data Airbus, penyerahan 367 pesawat kepada operator di kawasan Asia Pasifik juga mencakup lebih dari setengah total penyerahan pesawat Airbus di seluruh dunia (718 unit) selama 2017.
Jumlah tersebut termasuk penyerahan hampir 100 pesawat lorong ganda serta bergabungnya A350 XWB ke tiga operator berbeda, dan penyerahan ini dilakukan langsung kepada maskapai atau melalui perusahaan penyedia jasa sewa pesawat.
Pada tahun 2017, Airbus juga memenangi bisnis baru paling banyak di kawasan Asia Pasifik. Perusahaan memperoleh 65 persen pangsa pasar dengan total 100 pesanan baru dari tujuh pelanggan. Pencapaian ini menambah "backlog" perusahaan hingga 2.000 pesawat mencakup sepertiga dari keseluruhan "backlog" global.
Menurut perkiraan, Asia Pasifik akan menyumbang hingga 46 persen permintaan global atas pesawat lorong ganda. Airbus berada di posisi yang tepat untuk memanfaatkan potensi ini karena perusahaan telah meraup 60 persen "backlog" pesawat lorong ganda di Asia Pasifik.
Sebelumnya, perusahaan finansial Moody's Investor Service dalam kajian yang dipaparkan baru-baru ini menyatakan bahwa persiapan untuk pemilihan umum yang akan datang di seluruh wilayah Asia Pasifik dapat berpotensi memperlambat momentum reformasi di kawasan tersebut.
Kajian Moody's menyatakan bahwa jadwal pemilihan umum yang padat dapat memperlambat momentum reformasi di beberapa negara dengan Malaysia, Kamboja, Fiji, Thailand, Pakistan, dan Maladewa diperkirakan akan mengadakan pemilihan utama pada tahun 2018.
Mengutip Malaysia sebagai contoh, laporan tersebut mengatakan bahwa reformasi kebijakan penerimaan yang signifikan telah tertahan kembali oleh pemilihan umum yang dijadwalkan pada bulan Agustus selama 2 tahun terakhir.
Sementara itu, Moody's menyoroti lingkungan pertumbuhan menguntungkan yang menopang prospek stabil "sovereign creditworthiness" di Asia Pasifik selama 12 bulan sampai 18 bulan ke depan meskipun leverage tinggi tetap menjadi kendala kredit utama.
Peningkatan kekuatan ekonomi di kawasan ini dan tingkat keterbukaan perdagangan yang tinggi membuat kawasan ini di posisi yang baik untuk mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan PDB global yang lebih kuat, kata analis Moody's Anushka Shah.
Moody's memperkirakan negara-negara "emerging markets" di Asia Pasifik tumbuh sebesar 6,5 persen pada tahun 2018, sedangkan negara-negara kurang maju (frontier economies) sebesar 5,9 persen dan negara-negara maju sebesar 1,8 persen.