REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi UU MD3 terkait hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah aneh. Terlebih, putusan MK saat ini bertentangan dengan putusan-putusan MK sebelumnya.
"Menurut saya, ini adalah putusan yang aneh, karena putusan ini kontradiktif," kata Zainal ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (9/2).
Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang mirip dengan Kejaksaan dan Kepolisian karena memiliki fungsi-fungsi eksekutif. Tapi di sisi lain dikatakan KPK tidak boleh mendapatkan angket untuk penyidikan, penuntutan, dan penyelidikan, sehingga hal ini tentu menjadi sangat kontradiktif, jelas Zainal.
"Padahal 'pintu masuknya' karena permasalahan itu, tapi pada saat yang sama itulah tidak boleh diangket," ujarnya.
Selain itu Zainal menilai putusan Mahkamah atas ketentuan hak angket tersebut seolah-olah membatalkan beberapa putusan Mahkamah sebelumnya. Terdapat empat putusan Mahkamah yang sebelumnya menyatakan bahwa KPK adalah lembaga independen yang memiliki kekuasaan yudikatif.
Keempat putusan Mahkamah tersebut bernomor; 19/PUU-IV/2006 tertanggal 19 Desember 2006, 19/PUU-V/2007 tertanggal 13 November 2007, 37-39/PUU-VIII/2010 tertanggal 15 Oktober 2010, dan 5/PUUIX/2011 tertanggal 20 Juni 2011.
"Tapi kemudian putusan ini dia bilang KPK adalah eksekutif, lantas apa dasar perubahan itu, ini seperti MK kemarin bilang KPK itu tahu kok hari ini KPK tempe," kata Zainal.
Pada Kamis (8/2) lima hakim konstitusi sepakat untuk menolak permohonan uji materi UU MD3 terkait dengan hak angket DPR kepada KPK. Dalam pertimbangan kelima hakim konstitusi tersebut, dijelaskan bahwa KPK merupakan bagian dari ranah eksekutif mengingat tugas dan fungsi KPK yang berada dalam domain eksekutif.
Lima hakim konstitusi tersebut berpendapat bahwa dasar pembentukan KPK ialah karena belum optimalnya lembaga negara, dalam hal ini adalah Kepolisian dan Kejaksaan yang mengalami krisis kepercayaan publik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sementara itu Kepolisian dan Kejaksaan dalam undang undang masuk ke dalam ranah eksekutif. Dengan demikian putusan Mahkamah menyatakan bahwa DPR mempunyai hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada KPK sama seperti KPK yang memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab kepada publik.
Namun terdapat empat hakim konstitusi lainnya yaitu; Maria Farida Indrati, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo, memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).