REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu lokasi wisata edukatif yang patut dikunjungi oleh Muslim Tanah Air ialah Bayt Alquran. Bayt, yang dalam bahasa Arab bermakna rumah tersebut, pada dasarnya berfungsi sebagai museum yang menyimpan koleksi sejumlah mushaf yang berhasil dihimpun sejak Islam berkembang di bumi pertiwi.
Tak hanya terbatas pada penyimpanan Alquran, Bayt Alquran yang berlokasi di sebelah kanan pintu masuk kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII) itu, juga menyimpan tradisi yang berkaitan dengan penulisan, pengajaran, serta penyebarluasan Alquran di Bumi Pertiwi.
Seperti dinukilklan dari Ensklopedi Oxford Dunia Islam Modern, ukuran bangunan maupun jumlah koleksi lembaga yang diresmikan oleh almarhum mantan presiden Soeharto pada 1997 tepat bersamaan dengan ulang tahun TMII ke-22 itu disebut-sebut jauh lebih besar dibandingkan dengan lembaga serupa di Bahrain, Mesir, dan Turki. Di waktu yang sama, diresmikan pula Museum Istiqlal.
Dalam sejarah, berdirinya Bayt Alquran memang tak terlepas dari sejarah Museum Istiqlal. Kedua lembaga itu memang merupakan rancangan budaya yang terkait dengan suksesnya pelaksanaan Festival Istiqlal I (1991) dan Festival Istiqlal II (1995) di Jakarta.
Gagasannya sendiri berawal ketika pada 5 Juli 1994, menteri agama pada era itu, H Tarmizi Taher mendampingi Soeharto menerima mushaf Alquran berukuran jumbo (2 x 1,5 m), hasil tulisan tangan dari Pesantren Al Asy'ariyah Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah, Asuhan KH Muntoha.
Gagasan awalnya adalah menghimpun seluruh mushaf Alquran yang ada di Tanah Air dari usianya yang telah mencapai ratusan tahun hingga yang baru saja berhasil diselesaikan. Termasuk di dalamnya Mushaf Istiqlal. Mushaf ini penulisan pertamanya oleh Soeharto dan rampung pada peringatan 50 tahun kemerdekaan RI, pada 1995.
Mushaf ini merupakan mushaf yang berukuran besar yang ditulis dengan khat indah dan dilengkapi ragam hias dari 27 provinsi Indonesia, termasuk Timor Timur, waktu itu.
Materi Bayt Alquran terkumpul dari koleksi Kementerian Agama dan Yayasan Festival Istiqlal, hasil kerja sama dengan Museum Nasional, Perpustakaan Nasional, dan museum-museum daerah. Selain itu, sumbangan juga datang dari para kolektor dan pemilik benda bersejarah, baik lembaga maupun perorangan serta dari seniman di Indonesia, Singapura, Brunai, dan yang terpilih dari pameran seni rupa kontemporer. Koleksi itu terus dilengkapi dan disempurnakan hingga kini.
Salah satu koleksi yang menarik adalah Alquran setebal 598 halaman. Koleksi itu berusia 200 tahun berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat. Mushaf Alquran tulisan tangan yang telah robek di sejumlah bagian itu digunakan oleh Sultan Bima terakhir, Muhammad Salahuddin. Mushaf tersebut ia pakai sejak kecil belajar mengaji hingga menjadi sultan.
Mushaf tersebut diserahkan dengan sukarela oleh Siti Maryam Salahuddin SH ke Bayt Alquran. Baik Bayt Alquran ataupun Museum Istiqlal, secara filosofis memberi ruang gerak bagi interaksi sosial. Pada saat yang sama, keduanya menjadi benteng yang kukuh bagi pengembangan keimanan. Di dalamnya, tak kurang dari 10 ribu benda seni yang bisa dinikmati pengunjung maupun untuk kepentingan riset.