Rabu 07 Aug 2019 14:41 WIB

Mengenal Mushaf Alquran Wonosobo

Mushaf Alquran Wonosobo merupakan mushaf Alquran terbesar di Indonesia.

Rep: mgro123/ Red: Agung Sasongko
Petugas Museum Bayt Alquran menunjukan mushaf Alquran berbahan daluang ( kayu pohon daluang) di Museum Bayt  Alquran, Jakarta,Rabu (5/12).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Petugas Museum Bayt Alquran menunjukan mushaf Alquran berbahan daluang ( kayu pohon daluang) di Museum Bayt Alquran, Jakarta,Rabu (5/12).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Bayt Al-Quran dan Museum Istiqlal yang berlokasi di Komplek Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur ini menyimpan sejarah penulisan manuskrip Alquran dari masa ke masa. Salah satunya, Mushaf Alquran Wonosobo.

Mushaf Al-Quran tersebut dibuat sekitar 17 bulan dimana pembuatannya dimulai dari Tanggal 16 Oktober 1991 sampai 5 Februari 1993. Al-Quran raksasa tersebut memiliki ukuran halaman 150 X 200 cm, dan ukuran teks 80 x 130 cm , atau 2 X 3 m bila dibuka dan ditulis diatas kertas berukuran 1,5 X 2 m dengan menggunakan kertas manila. Mushaf Al-Quran tersebut memuat 30 Juz atau 605 halaman serta beratnya mencapai 165 kg sehingga diperlukan 8 orang untuk mengangkatnya.

Untuk sampulnya, dibuat dari kayu jati yang dilengkapi dengan penguat dari besi tahan karat. Dengan seperti ini, berat keseluruhan Alquran ini adalah 3 Kuintal. Alquran tersebut ditulis dengan khat naskhi dan dihiasi dengan iluminasi yang sederhana.

Mushaf Alquran raksasa ini dibuat oleh dua orang santri yang dipandang mempunyai sebuah keahlian khusus yaitu H. Hayatuddin(28) yang berperan sebagai penulis dan H. Abdul Malik yang berperan sebagai penulis ornamen. Untuk tenaga tambahan, dibantu oleh Waros Al-Hafidz yang berperan sebagai pemeriksa.

Selama penulisan Mushaf Alquran berlangsung, kedua santri tersebut melakukan puasa dalail atau lebih dikenal dengan puasa tiap hari selama tiga tahun dengan pengecualian terhadap hari Tasyrik atau hari yang dilarang puasa. Selain itu, mereka berdua juga melakukan shalat dua rakaat sebelum menulis agar tetap suci dari hadas besar maupun kecil.

Untuk tambahan, penulisan dilakukan pada pagi hari pukul 07:30 sampai pukul 12:00 siang WIB. Setelah itu, penulisan kembali berlanjut setelah ibadah shalat isya pukul 19:30 hingga 20:30 WIB. Selama proses penulisan Mushaf Al-Quran, mereka berdua juga mendapat pengawasan dari K.H Muntaha yang merupakan pimpinan pondok pesantren Al-Asyariah Wonosobo.

Dalam proses penulisan, alat tulis yang dipakai adalah Pena yang dirancang sendiri dari Bambu aura atau dalam bahasa Jawanya Pring Wulung. Mereka menggunakan Bambu Aur karena setelah mereka berdua mencari pena ke kota Surabaya dan Jakarta, mereka berdua tidak menemukan alat tulis yang bisa menghasilkan tulisan setebal 1cm.

Untuk tambahannya, tinta yang dipakai untuk penulisan adalah tinta hasil dari adonan sendiri yaitu tinta cina yang dicampur dengan air the sebagai bahan pengawet sehingga bisa bertahan hingga puluhan tahun.

Selain itu, untuk tempat tinta mereka menggunakan mangkok yang terbuat dari tanah liat. Oleh karenanya, hal tersebu terbukti dengan menggunakan pena jenis bambu aur, goresan yang dihasilkan lebih rapih dan bersih dibandingkan dengan tinta lainnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement