Kamis 22 Feb 2018 05:03 WIB

Mengenal Kata Sayyid

Ia dipandang mulia, terhormat, luhur, terkenal, atau agung di komunitas tertentu.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi kafilah dagang di gurun pasir
Foto: saharamet.org
Ilustrasi kafilah dagang di gurun pasir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum pra-Islam, kata sayyid lazim dipakai untuk sebutan orang-orang yang memiliki sejumlah keutamaan. Ia dipandang mulia, terhormat, luhur, terkenal, atau agung di komunitas tertentu. Entah diperoleh secara garis keturunan ataupun diraih berkat dedikasi dan ketekunannya.

Dalam literatur pra-Islam, mengutip Ensklopedi Oxford Dunia Islam Modern karya John L Esposito, kata ini identik untuk menyertai panggilan seorang pemimpin. “Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (QS al-Ahzab [33]: 67).

Di Makkah, nenek moyang Muhammad SAW, seperti Qushayyi, Abdul Manaf, Hasyim, dan Abdul Muthallib, karena jabatan mereka sebagai penjaga Ka’bah, tempat suci yang paling dihormati di Semenanjung Arab, disebut sebagai sayyid-sayyid zamannya. Kakek Nabi, Abdul Muthallib, secara khusus digambarkan oleh literatur sebagai pemimpin (sayyid) hingga wafatnya.

Ketika Muhammad SAW diutus sebagai nabi dan rasul, dalam dirinya terdapat keluhuran garis keturunan dan kualitas personal sebagai penerima wahyu Ilahi serta kedudukan Nabi Allah dalam menemukan manifestasi tertingginya. Hal ini diakui dengan sewajarnya oleh komunitas dan Rasul pun pada masa hidupnya telah disebut sebagai pemimpin kaumnya (sayyidunnas). Selain itu pula, disebut sebagai sayyid al basyar atau pemimpin umat manusia, sayyid al’arab (pemimpin Arab), sayyid al-mursalin (pemuka para rasul), dan sayyid al-anbiya’ (pemuka para nabi).

Oleh karena itu, wajarlah jika keistimewaan garis-garis keturunan Nabi dan kedudukan agungnya sendiri sebagai sang sayyid seharusnya diperluas hingga anggota-anggota keluarga dan keturunannya. Ada banyak tradisi, baik yang terdapat di kalangan Sunni atau Syiah yang di dalamnya disebutkan bahwa Nabi menganugerahkan keistimewaan dan kemulian besar kepada putrinya, Fatimah, menantunya, Ali bin Abi Thalib, dan kedua cucunya, yaitu Hasan dan Husain.

Maka, kemudian gelar sayyid diperuntukkan keturunan Rasulullah, khususnya yang berasal dari cucu kedua Nabi, yaitu Husain bin Ali. Pada masa awal, gelar syarif juga digunakan untuk kedua cucu itu, tetapi lambat laun syarif menjadi lebih lazim digunakan untuk keturanan hasan, sedangkan sayyid menjadi gelar untuk keturunan Husain.

Dengan meluasnya wilayah Islam dan berubahnya kondisi-kondisi sosial politik semenjak abad ketujuh dan seterusnya, keturunan Nabi pun berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah lain. Khususnya, pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah (661- 750 M) dan Abbasiyah (749-1258 M). Para keturunan Rasulullah tersebut dianggap ancaman yang sewaktu-waktu bisa mengganggu kekuasaan mereka. Dua destinasi utama hijrah para keturunan Rauslullah pada waktu itu ialah Yaman dan Iran. Belakangan, Sindh yang terletak di anak Benua India, juga tak luput dari tujuan mereka.

Di berbagai wilayah yang menjadi tujuan hijrah tersebut, muncul perlakuan istimewa terhadap para keturunan Nabi. Ini tak terlepas dari sentimen dan psikologi umat Islam. Mereka menganggap sudah menjadi kewajiban untuk menghormati mereka. Secara sosial, status mereka sangat terhormat. Di daerah pedesaan Punjab, Sindh, dan bagian lain anak Benua India, rakyat jelata memilih duduk di lantai daripada duduk sejajar dengan keturunan Rasulullah di satu panggung. Ini merupakan bentuk penghormatan.

Sebuah kehormatan pula bila perempuan nonsayyid dipersunting oleh seorang sayyid.

Pada abad pertengahan, kaum sayyid memosisikan diri sebagai orang yang mulia dan terpandang dari sisi keagamaan dan pendidikan agama. Kenyataannya, sebagian besar guru sufi memiliki garis keturunan kepada Nabi SAW.

Di tangan merekalah penyebaran Islam menyebar ke berbagai wilayah. Ini terbukti dari peninggalan makam mereka di berbagai kawasan yang hingga kini menjadi objek ziarah. Seperti, di Sindh, Punjab, Delhi, Rajasthan, Mesir, Irak, dan kawasan lainnya. Seiring dengan perubahan sosial budaya masyarakat modern, penghormatan ini kian melemah. Meskipun, di tradisi sejumlah komunitas Muslim penghormatan istimewa tersebut masih berlaku.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement