REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti sekaligus Asisten Profesor di Universitas Winston AS Alice Kangmenyimpulkan bahwa para pemimpin agama tidak selalu me nentang hak perempuan. "Sebaliknya, para pemimpin Muslim secara selektif memobilisasi kebijakan yang tampaknya melemahkan institusi informal dan formal. Penentu utama adopsi kebijakan hak-hak perempuan adalah daya tawar pemerintah dengan elite agama,"jelas Alice Kang.
Contoh yang bagus adalah perdebatan tentang undang-undang yang mewajibkan istri dan suami untuk memiliki kewajiban yang sama dalam menyediakan tempat tinggal. Tanggapan terhadap undang-undang tersebut sangat beragam di masyarakat Muslim. Beberapa wanita mendukungnya, tapi yang lain menolaknya dengan demonstrasi massal.
Akar permasalahannya adalah beda penafsiran ajaran Islam. Sebagian berpendapat Islam mewajibkan pria menyediakan tempat berlindung, makanan, dan pakaian untuk keluarga. Namun dari mereka berpendapat wanita juga berperan mengelola rumah tangga.
"Ada yang beranggapan, kebijakan ini benar-benar menghilangkan tanggung jawab pria dan memberi lebih banyak beban pada wanita,"jelas Kang.
Ketika pulang ke Amerika, Kang memperlihatkan hasil penelitian ini kepada orang Amerika. Kang yang berdarah Korea Amerika ini mengatakan sebagian besar masyarakat Amerika melihat hukum Islam terbelakang dan mendukung kekerasan terhadap perempuan, sebuah kesimpulan yang keliru.
Kang mendesak mereka untuk lebih banyak belajar tentang keragaman dan penghambaan kepada Tuhan yang mendalam seperti umat Islam di dunia. Hukum Islam menurutnya adalah kaya, canggih, dan memiliki cakupan luas. Umat Islam di Nigeria ba nyak memahami hukum Islam memastikan hak-hak perempuan dihormati di belahan dunia manapun.