REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Demam Film Dilan merembet ke seluruh penjuru Indonesia, sampai kepada Wakil Ketua Dewan perwakilan rakyat (DPR) Fahri Hamzah yang meng-update foto bertuliskan puisi ala Dilan pada akun instagram-nya.
Posting ini menjadi sorotan warga net, karena tak hanya kekinian, Fahri juga melontarkan kritik ke penguasa, dan orang-orang yang selama ini dia sebut sebagai penekan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam postingan itu Fahri mengedit fotonya dengan photoshop. Hastag FHSays membumbui fotonya ditemani kalimat di samping kiri atas foto. Caption fotonya berupa kritik berbunyi, "Jangan Kritik Penguasa, Itu Berat. Biar Aku saja." Tulis Fahri pada Fotonya yang diunggah Ahad (11/1) pukul 11 siang.
Dalam keterangan foto pada akun instagram @fahrihamzah dituliskan: "MAAF, PEMIMPIN KITA ASYIK SENDIRI. TAK PAHAM KITA SEDANG DISERANG."
Kemudian pada bagian bawah caption foto, Fahri memberikan keterangan panjang dengan mengritik bahwa yang merusak itu yang menekan. Hal itu merupakan kelompok yang selama ini mendompleng dari jalanan. Lanjut Fahri bercerita, dulu mereka bisa dikte mahkamah konstitusi (MK) supaya dukung semua agenda mereka. "Begitu orangnya nggak bisa ditekan mereka marah. Saya tahu betul kelakuan mereka, itu-itu aja orangnya," kata Fahri.
Dalam keterangan fotonya, Fahri merasa ingat bagaimana kelompok itu bekerja untuk menekan MK supaya memberikan legitimasi kepada UU 30/2002 tentang KPK padahal di dalamnya ada banyak penyimpangan. Namun, kata Fahri, hakim tidak berani meluruskan. Hakim ditekan seperti yang mereka lakukan sekarang.
Fahri melanjutkan, padahal semakin hari KPK sebagai produk UU 30/2002 semakin nampak sebagai negara dalam negara, atau kekuatan proxi untuk menciptakan instabilitas dalam negara khususnya sistem peradilan pidana Indonesia. MK seharusnya meluruskan, tapi mereka tekan.
"Kekacauan selama 16 tahun adanya KPK ini, seperti ada yang menjaga supaya tetap kacau. Ketidaksinkronan antara lembaga dan antara aturan sebetulnya kasat mata. Tapi sengaja dijaga. Saling curiga antar lembaga terus saja terjadi mulai CICAK VS BUAYA sampai Pansus Angket KPK," kata Fahri.
Dalam keterangan foto kelompok ini, kata Fahri seperti paham betul cara menggalang kekacauan tanpa terasa, seolah konstitusional. Jika kelompok lain mengkritik MK dan KPK, mereka bilang intervensi peradilan tapi mereka menekan pakai opini dan aksi paling sering mereka lakukan.
"Saya ingat dulu ketika Judicial Review atas UU 30/2002 dilakukan oleh berbagai kalangan. Mereka bisa bikin Headline media, AWAS KORUPTOR FIGHT BACK!. Padahal orang ingin agar semua UU merujuk kepada Konstitusi. Saat itu hakim MK juga ditekan," cuit Fahri.
Padahal Judicial Review menurutnya adalah hak setiap warga negara yang merasa bahwa sebuah UU telah merugikan hak-haknya dan bertentangan dengan UUD1945. Itulah yang menurutnya yang dirasakan oleh banyak orang dengan UU 30/2002. Tapi semua tiarap karena dituduh antek koruptor oleh mereka.
"Orang-orang itu mengaku pembela HAM dulu, waktu pesanannya membela HAM. Sekarang mereka membolehkan UU mengintip warga negara tanpa batas. Mereka menyetujui proses hukum yang didominasi oleh satu lembaga tanpa batasan bahkan tanpa SP3 dan pengawasan," tulis Fahri.
Setelah dikonfirmasi melalui pesan singkat kepada Republika.co.id, Fahri mengakui benar menuliskan cuitannya tersebut di akun Instagram miliknya. "Ya benar," kata dia.