Kamis 01 Mar 2018 13:53 WIB

Dalam Patriarki Jepang, Gerakan Me Too Berisiko Bagi Wanita

Mereka yang berbicara lebih banyak mendapat kritik dibandingkan simpati.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Ani Nursalikah
Jurnalis Jepang Shiori Ito yang diperkosa rekannya. Sayangnya, pengadilan memutuskan tidak mendakwa pelakunya.
Foto: AP Photo/Mari Yamaguchi
Jurnalis Jepang Shiori Ito yang diperkosa rekannya. Sayangnya, pengadilan memutuskan tidak mendakwa pelakunya.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Banyak komentar dari para warganet menuduh Rika Shiiki telah berbohong dan mencari publisitas ketika dirinya membuat sebuah cicitan tentang kontrak bisnisnya yang hilang setelah menolak berhubungan seks dengan kliennya. Beberapa warganet bahkan menyatakan dengan menyetujui ajakan makan malam klien, Shiiki sebenarnya telah mengajak ke arah tersebut.

"Komentar yang saya dapatkan tidak proporsional. Kita perlu menciptakan kondisi masyarakat yang dapat menerima kita (perempuan) untuk bersuara. Jika tidak, pelecehan seksual dan kesalahan lainnya akan berlanjut selamanya," ujar Shiiki, wanita berusia 20 tahun yang juga seorang mahasiswa dan pengusaha.

Gerakan #MeToo memang belum ditangkap dengan baik di Jepang. Mereka yang berbicara lebih banyak mendapat kritik dibandingkan simpati bahkan dari orang yang memiliki gender sama. Gerakan tersebut muncul di AS setelah kasus pelecehan seksual yang dilakukan produser film Hollywood Harvey Weinstein tahun lalu.

Dalam sebuah masyarakat patriarki dimana kebanyakan wanita terus dijadikan pihak yang bersalah, banyak korban kemudian mencoba melupakan serangan dan pelecehan daripada mencari dukungan dan keadilan. Hal ini diungkapkan oleh Mari Miura seorang profesor ilmu politik di Universitas Sophia di Tokyo.

"Jepang tidak memiliki ikatan persaudaraan antarwanita yang kuat. Ini adalah proses yang melelahkan dan selalu mengintimidasi. Sangat wajar jika korban kemudian merasa enggan berbicara," ujarnya.

photo
Gerakan #MeToo

Seorang jurnalis wanita, Shiori Ito, mencoba terbuka kepada publik tahun lalu. Dirinya mengadakan konferensi pers setelah jaksa memutuskan tidak mengajukan tuntutan kepada seorang wartawan TV terkemuka yang ditutduh telah memperkosa dirinya. Kejadian tersebut dikatakan berlangsung setelah wartawan TV itu mengundang Ito untuk mendiskusikan kesempatan kerja sama sembari makan malam pada 2015.

Setelah konferensi pers tersebut, banyak komentar bernada kritik ditujukan pada Ito. Dirinya dikritik karena berani berbicara mengenai pemerkosaan, terlihat terlalu menggoda, dan merusak kehidupan seorang tokoh terkemuka. Ito juga mengatakan kepada AP sebagian wanita di Jepang menyebutnya memalukan.

Buku Ito yang dirilis Oktober dan berjudul Blackbox berisikan rincian siksaan yang terjadi saat fenomena #MeToo menjadi berita utama di Amerika. Gerakan tersebut juga menimbulkan beberapa diskusi di Jepang namun hanya sedikit wanita yang berani maju ke depan.

"Banyak yang menganggap masalah Ito tidak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat Jepang dan karena itulah gerakan #MeToo tidak populer di Jepang," ujar pengacara Yukiko Tsunoda seorang pakar kejahatan seks.

Di Jepang wanita yang diserang secara seksual secara tradisional disebut 'cacat'. Menurut hasil survei pemerintah pada 2015, hampir tiga perempat korban perkosaan mengatakan tidak pernah melaporkan hal tersebut kepada siapa pun dan hanya empat persen diantaranya yang melapor kepada kepolisian. Studi tersebut juga menemukan satu dari 15 wanita di Jepang mengalami pemerkosaan atau dipaksa melakukan hubungan seks.

Tsunoda melanjutkan korban sering menghindar dari tindakan hukum atau pengadilan karena ketakutan, masalah privasi, juga kehilangan pekerjaan. Data Statistik Kementerian Kehakiman kemudian hanya menunjukkan sepertiga kasus pemerkosaan yang masuk ke pengadilan dan hukuman yang diberikan tidak parah. Dari 1.678 orang yang melakukan kekerasan seksual pada 2017, hanya 285 atau 17 persen yang dijatuhi hukuman penjara tiga tahun atau lebih.

Di November, jaksa Yokohama tanpa mengatakan alasannya menghentikan proses hukum terhadap enam mahasiswa dari universitas terkemuka yang ditangkap karena tuduhan pemerkosaan massal kepada seorang remaja perempuan setelah membuatnya mabuk. Universitas sendiri memecat tiga diantaranya.

Penulis populer Haruka Ito yang memakai nama pena Ha-Chu juga dikritik setelah pada Desember mengungkapkan dirinya mengalami pelecehan seksual dan pelecehan lainnya oleh seorang pegawai senior saat keduanya bekerja di Dentsu, biro iklan terbesar di Jepang. Atas tuduhan tersebut, pelaku kemudian meminta maaf dan mngajukan surat pengunduran diri dari perusahaan, namun membantah melakukan pelecehan seksual.

Ha-Chu dalam sebuah pernyataan mengatakan awalnya dia mencoba bertahan dan melupakan kejadian tersebut karena khawatir akan merusak citra dan menimbulkan masalah bagi koleganya tersebut. "Setelah muncul berita tentang kasus wartawan Ito dan ada gerakan #MeToo, saya memutuskan berbicara," ujarnya.

Tekanan konformis di Jepang memang membuat wanita enggan berbicara ataupun mengatakan 'tidak' pada banyak hal termasuk paksaan seks yang tidak diinginkan. Hal ini diungkapkan oleh Saori Ikeuchi, mantan anggota parlemen dan aktivis keragaman gender.

Pola pikir tersebut dikatakan membungkam hampir semua wanita 'wanita penghibur' Jepang yang dilecehkan secara seksual sebagai pelacur dalam militer masa perang. Jepang tidak sedikit pun menunjukkan simpati kepada korban dari Korea atau tempat lainnya.

Ito sang wartawan, mengatakan setelah ia merasa pusing dan pingsan di kamar mandi, sang pelaku Noriyuki Yamaguchi membawanya ke kamar hotel dan memperkosa dirinya saat dalam keadaan tidak sadar. Serangan tersebut dikatakan Ito hanyalah awal dari cobaan berat lainnya.

Klinik wanita yang ia kunjungi keesokan harinya ternyata tidak memiliki tenaga ahli dalam hal pemerkosaan dan sebuah pusat dukungan korban pemerkosaan menolak memberikan nasihat lewat telepon. Polisi bahkan meminta dirinya menceritakan dan melakukan reka ulang kejadian tersebut berulang kali menggunakan boneka seukuran manusia.

Ito juga menyatakan butuh waktu tiga minggu hingga akhirnya polisi menerima aduan kriminalnya dan mulai menyelidiki. Dirinya kemudian mengadakan konferensi pers di bulan Mei dan mengumumkan dirinya telah meminta panel yang ditunjuk pengadilan untuk meninjau kembali keputusan yang memilih membatalkan kasus tersebut. Pemeriksaan di September mengeluarkan hasil setuju dengan keputusan untuk tidak melakukan dakwaan.

Yamaguchi yang dituduh sebagai pelaku membantah melakukan kesalahan tersebut. Ito telah mengajukan tuntutan perdata terhadapnya dan menuntut kompensasi sebesar 10 juta yen atas penderitaannya akibat pemerkosaan tersebut dan mencari tahu alasan mengapa Yamaguchi tidak pernah ditangkap dan dibebaskan.

"Saya berpikir bagaimana cara saya mengubah situasi ini dan saya tidak punya pilihan lain selain memulai dari diri saya sendiri," ujar Ito.

Sekelompok anggota parlemen oposisi telah memulai penyelidikannya. Mereka berusaha menemukan apakah tuntutan tersebut dibatalkan karena hubungan dekat yang dimiliki Yamaguchi dengan seorang pejabat politik yang kuat.

Petugas Badan Kepolisian Nasional Junichiro Kan mengatakan kepada anggota parlemen pada sidang baru-baru ini kasus Ito telah ditangani dengan benar. Polisi mengatakan mereka telah mencoba lebih peka terhadap perasaan korban sambil terus melakukan pengawalan atas tuduhan yang salah.

Mika Kobayashi yang juga korban pemerkosaan menjalankan sebuah kelompok swadaya, tempat bertukar ribuan pengalaman #MeToo namun menjaga anonim di antara mereka. Dia mengatakan pernah didorong ke sebuah mobil lalu diperkosa dalam perjalanan pulang pada 2000.

Dirinya telah melaporkan serangan tersebut kepada polisi namun hingga kini penyerangnya belum ditemukan. Sejak saat itu ia telah menerbitkan buku tentang masa pemulihannya dari kejadian tersebut untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Fokusnya saat ini adalah memeberikan dukungan dan pemahaman bagi para korban, bukan menjadi aktivis.

"Dulu saya menganggap diri saya sebagai satu-satunya yang menyembunyikan rahasia besar, korban penyerangan seks, dan sesuatu yang najis. Saya bersyukur bisa bertemu dengan sesama korban dan mereka memberi saya kekuatan. Saya pikir tidak apa-apa jika masih ada yang tidak ingin bicara, saya menghormati keputusan yang membuat korban paling merasa nyaman," ujarnya.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement