REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tidak seharusnya disalahkan. Menurutnya, secara pandangan ekonomi tidak membenarkan adanya sengketa terhadap penerbitan SKL, meski terjadi kesalahan penaksiran di awal.
"Jika ternyata nilainya kurang, padahal surat lunas sudah diberikan, ini yang salah di awal," katanya, Kamis (1/3).
Oleh karena itu, kasus SKL BLBI idealnya sudah selesai sejak lama, karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan pemberi utang menyatakan penyerahan aset telah mampu melunasi utang. Menurut Ahmad Heri, ketika aset telah diserahkan untuk melunasi kewajiban dan penerbitan SKL telah dilakukan, seharusnya persoalan utang-piutang tidak diperpanjang lagi.
Ia menyayangkan apabila dalam kasus penerbitan SKL terhadap obligor BLBI terdapat pandangan bahwa pemerintah seolah-olah kecolongan, apalagi terdapat anggapan bank menjual aset di bawah nilai taksiran.
"Ketika ternyata beberapa tahun kemudian aset dijual dan tidak sesuai dengan utang yang berikan saat itu, kesalahan ini berada di pihak yang memberikan utang," ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata menjelaskan persoalan yang terjadi saat ini adalah nilai aset untuk pelunasan kewajiban ternyata tidak sebesar hasil penilaian terdahulu.
Terkait kasus Bank Dagang Nasional Indonesia, Isa memastikan pihaknya sudah mencatat aset tersebut seperti yang disampaikan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). "Itu sudah dibayar aset dan tunai sesuai kewajiban. Makanya SKL terbit. Pada prinsipnya ketika SKL terbit, maka itu sesuai dengan syarat dan ketentuan BPPN untuk menerbitkan SKL," ujarnya.
Pemerintah, menurutnya, sudah konsisten dengan kebijakan yang diambil karena waktu itu obligor telah kooperatif dan mau menyelesaikan kewajiban, meski penegak hukum menilai terdapat indikasi kurang bayar.
Secara keseluruhan, pemerintah mencatat masih ada sekitar 22 obligor BLBI, terkait aset kredit, yang belum memenuhi kewajiban kepada negara dengan jumlah utang mencapai Rp31,3 triliun.
Terhadap aset lainnya seperti aset tagihan, aset tetap maupun aset inventaris maupun saham, pemerintah berupaya mencari solusi selain penyelesaian konvensional melalui lelang. Salah satunya dengan pemanfaatan aset tersebut untuk disewakan, terutama untuk aset tetap berupa properti rumah, gedung kantor, sawah, eks perkebunan kepala sawit dan resort, guna menambah PNBP. Namun, untuk aset investaris maupun saham, pemerintah memutuskan untuk menjual aset tersebut guna mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan oleh negara.