REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali membuka Masa Persidangan ke-IV Tahun Sidang 2017-2018 di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (5/3). Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengatakan, dalam persidangan tersebut pimpinan baru DPR belum akan dilantik.
Fahri menuding hal tersebut disebabkan pemerintah yang hingga saat ini belum memberikan nomor pada Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang disahkan pada 12 Februari 2018 lalu. Apalagi, Presiden Joko Widodo sebelumnya memberikan sinyal tidak akan menandatangani UU MD3.
"Undang-undang itu tergantung pemerintah, kalau pemerintahnya setuju, cepat, nggak ada perbedaan, pasti cepat. DPR juga ingin undang-undang itu cepat, kan yang selama ini undang-undangnya cepat itu kalau pemerintahnya setuju," kata Fahri di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (5/3).
Fahri menilai, pemerintah belum siap melaksanakan undang-undang sehingga cenderung memperlambat pembahasan undang-undang di DPR. Oleh karena itu,Fahri mengusulkan pemerintah seharusnya tidak perlu ikut membahas undang-undang.
"Nanti pemerintah membuat pernyataan setuju tidak setuju pada pembicaraan tingkat dua, kenapa? Supaya kinerja DPR bisa dihitung, bisa diukur," katanya.
Fahri enggan menyebut nama pimpinan DPR yang diajukan oleh PDI Perjuangan. DPR bisa melantik jika UU MD3 sudah ada nomor dari presiden. "Dengan dasar UU itu kita udah bisa melantik," ucapnya.
PDI Perjuangan menjadi satu-satunya partai yang mendapat jatah penambahan kursi pimpinan DPR. Hingga saat ini presiden diketahui belum menandatangani UU MD3 tersebut. UU tersebut memunculkan polemik setelah diketahui ada beberapa pasal yang disinyalir membuat DPR menjadi lembaga yang superbodi, antara lain Pasal 73, Pasal 122 huruf K, dan Pasal 245.
Infografis Pasal Kontoversial UU MD3