REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VIII Khatibul Umam Wiranu menilai kebijakan rektor UIN Sunan Kalijaga yang melarang penggunaan cadar dengan alasan identik dengan ekstremisme merupakan kebijakan yang aneh.
"Lain cerita jika ukurannya tindakan ekstremisme itu ukurannya peraturan perundang-undangan. Saya tidak membela cadarnya, tapi soal kepatutan saja, dimana UIN sebagai kampus yang harusnya berstandar pada nilai-nilai akademis, bukan standar busana," ujarnya kepada Republika.co.id di Jakarta, Rabu (7/3).
Menurutnya, ekstrem dan tidak ekstrem seseorang itu standarnya tindakan yang menganggu, melukai, membahayakan atau bahkan mengancam jiwa orang lain atau masyarakat atas dasar pemahaman keagamaan yang salah dan bukan atas dasar baju yang dikenakan.
"Universitas itu ciri utamanya memegang standar akademis yang universal sifatnya. Menggelikan saja menghakimi civitas academika berdasarkan suka dan tidak suka dalam gaya berpakaian," ungkapnya.
Jika ditarik lebih jauh persoalan di UIN Sunan Kalijaga ini, tidak terlepas dari posisi rektor yang merupakan 'wakil pemerintah'. Menurutnya, karena rektor PTAIN itu 100 persen pilihan menteri agama maka konsekuensinya akan muncul rektor PTAIN yang bersikap otoriter dalam memutuskan kebijakan di lingkungan kampusnya.
Hal ini merujuk di Pasal 8 Peraturan Menteri Agama No 68 Tahun 2015 yang menyatakan penetapan dan pengangkatan rektor dilakukan oleh menteri. Pencabutan atas PMA ini sejak lama telah disuarakan oleh kalangan akademisi di lingkungan PTKIN.
"Saya mendorong civitas akademika UIN Sunan Kalijaga atas nama demokratisasi di lingkungan kampus untuk melakukan gugatan tata usaha negara (TUN) atas kebijakan Rektor UIN Sunan Kalijaga," ucapnya.