REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia, Said Salahudin mengatakan peluang Partai Demokrat mengusung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam panggung politik Pilpres 2019 akan lebih besar bila merapat kepada kubu koalisi propemerintah.
"Ini adalah keinginan dari Partai Demokrat yang menginginkan usai SBY selesai dalam pemerintahan dan merasa harus ada tokoh lain yang meneruskan. Yang meneruskan yakni AHY, tapi dengan siapa AHY? Tentu yang lebih banyak peluangnya adalah pejawat, karena pejawat lebih banyak peluang," kata dia.
Ia menyebut, adanya peluang yang lebih besar kepada pejawat yakni Joko Widodo (Jokowi). Sebab pejawat saat ini lebih banyak memiliki kekuasaan sehingga memiliki kemampuan untuk berpeluang dipilih. Hal itu, kata dia, menjadi perhitungan khusus oleh SBY.
"Sehingga kalau ditandem kan, akan lebih banyak peluang," tuturnya.
Sementara, Jokowi sendiri, menurutnya saat ini juga membutuhkan pasangan untuk maju di Pilpres 2019. "Pak Jokowi tidak bisa mencalonkan diri sendiri, tapi harus dari partai-partai lain," ujarnya.
Namun, lanjutnya, hal itu harus di atas persetujuan dua partai besar yang mengusungnya, yakni PDI Perjuangan dan juga Partai Golkar. Bila Jokowi bersanding dengan AHY, maka akan ada kecemburuan politik dari partai-partai lainnya yang telah berkoalisi propemerintah ini.
Partai Nasdem dan Partai Hanura, kata dia, mungkin akan cemburu namun tak berlebih karena mengingat porsi suara yang sedikit. "Justru dua partai besar PDI Perjuangan dan Partai Golkar sendiri yang akan cemburu," kata dia.
Ia juga menganalisa peluang AHY bila disandingkan dengan Prabowo Subianto bila Partai Demokrat berpaling menuju Partai Gerindra. Menurutnya, peluang AHY untuk diajak menjadi cawapres akan semakin kecil. Sebab, latar belakang baik dari AHY maupun Prabowo adalah sama-sama dari militer.
"Masyarakat akan melihat dua tokoh ini sama karakternya, karena dari militer. Masih satu 'baju'," tutunnya.