Selasa 13 Mar 2018 05:09 WIB
Catatan Perjalanan dari Tiongkok (1)

Menuju the Chinese Dream

Cina daratan tetap komunis sementara pulau-pulau lainnya kapitalis.

Beijing pada Senin (16/10) mengumumkan bandar udara baru bernilai 80 miliar yuan (lebih dari Rp 121 triliun) dibuka pada Oktober 2019 di tengah pembangunan gencar prasarana oleh Presiden Cina Xi Jinping.
Foto: Reuters
Beijing pada Senin (16/10) mengumumkan bandar udara baru bernilai 80 miliar yuan (lebih dari Rp 121 triliun) dibuka pada Oktober 2019 di tengah pembangunan gencar prasarana oleh Presiden Cina Xi Jinping.

REPUBLIKA.CO.ID  Pada 1-10 Februari 2018 lalu, tiga partai Islam--PAN, PKB, dan PKS--diundang Partai Komunis Tiongkok (PKT) mengunjungi negara Tirai Bambu tersebut. Wartawan Republika, Nasihin Masha, ikut diundang dalam perjalanan tersebut. Berikut ini laporannya.

A Hakam Naja, dari Partai Amanat Nasional (PAN), dengan lugas bertanya: “Orang banyak menilai bahwa Tiongkok adalah negeri dengan dua sistem atau one country two systems.”

Maksudnya, secara politik menggunakan sistem komunisme, tetapi secara ekonomi menerapkan sistem kapitalisme. Hakam mengajukan pertanyaan itu saat berdialog dengan Dirjen International Department of the Communist Party of China (IDCPC), Yuan Zhibing, Kamis (8/2), di Beijing.

Pertanyaan itu tak dijawab dengan narasi langsung, tetapi dengan memberikan ilustrasi. “Saat Amerika Serikat dilanda krisis beberapa waktu lalu, mereka menggelontorkan dana dalam jumlah besar ke Wall Street. Kami justru menggelontorkan dana itu ke sektor pertanian. Nilainya 600 triliun yuan,” katanya.

Dengan jawaban itu ia hendak membantah penilaian bahwa negeri itu menganut dua sistem. Mereka tetap negara dengan satu sistem, sistem komunis.

Jika merujuk pada pernyataan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, one country two systems itu merujuk pada Tiongkok daratan dan pulau-pulau yang dulunya dikuasai Inggris dan Portugal, yaitu Hong Kong dan Makao, yang kemudian dikembalikan lagi ke Pemerintah Tiongkok.

Bahkan, dalam hal ini termasuk juga Taiwan. Tiongkok daratan tetap dengan sistem komunis, sedangkan pulau-pulau itu tetap dengan sistem kapitalis. Jadi, one country two systems itu tidak merujuk pada situasi di Tiongkok daratan.

Dalam menghadapi krisis seperti yang dijelaskan Zhibing, Tiongkok memiliki cara yang berbasis pada sistem, budaya, dan potensi nasionalnya. Kini, Tiongkok menjadi kekuatan ekonomi dunia yang mulai mengancam dominasi negara-negara Barat.

Namun, Zhibing tak sependapat jika Tiongkok akan segera menggeser dominasi Amerika Serikat. “Teknologi kami masih ketinggalan 50 tahun dibandingkan dengan Amerika Serikat,” katanya.

Memang dari GDP, Tiongkok mulai berupaya mengejar Amerika Serikat. Saat ini (2017) GDP Tiongkok 12,25 triliun dolar AS. Di bawah Xi Jinping, terjadi lonjakan luar biasa. Saat dia naik menjadi presiden pada akhir 2013, GDP Tiongkok baru mencapai 8,56 triliun dolar AS.

GDP per kapita Tiongkok pada 2017 adalah 8.836 dolar AS. Sedangkan, GDP Amerika Serikat pada 2017 adalah 19,739 triliun dolar AS. Tiongkok menempati urutan kedua setelah AS.

Namun, GDP hanya salah satu faktor. Masih banyak faktor lainnya, seperti sains dan teknologi, industri, dan sumber daya manusia. “Secara rata-rata, dengan menghitung semua faktor, kami mungkin tertinggal 20 tahun dibandingkan dengan Amerika Serikat,” ujar seorang diplomat Tiongkok.

Kongres ke-19 PKT pada Maret 2017 lalu, Tiongkok sudah memancangkan target pada 2020 sudah tak ada lagi orang miskin. Lalu pada 2035, Tiongkok menjadi negara modern dan pada 2050 Tiongkok menjadi negara yang kuat, makmur, demokratis, dan indah. Itulah tekad mereka. Untuk itu, mereka membuat rencana aksi yang terukur, sistematis, dan terstruktur.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement