REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Pemimpin kelompok separatis Muslim terbesar di Filipina memperingatkan adanya frustrasi yang semakin meningkat di pulau Mindanao, Filipina. Ini dikarenakan adanya penundaan dalam pelaksanaan sebuah perjanjian perdamaian 2014 yang ditandatangani dengan pemerintah.
Dilansir Aljazirah, Rabu (14/3), Wakil Ketua Front Pembebasan Islam Moro (MILF), Ghazali Jaafar mengatakan kelompok Muslim lelah menunggu untuk mewujudkan otonomi nyata bagi rakyat mereka. Ini disampaikan Jaafar kepada panel reformasi konstitusi.
"Inilah mengapa beberapa mantan rekan kami kabur. Dan kami saling bertengkar karena mereka frustrasi. Begitulah cara berbicara dengan pemerintah saat menangani negosiasi," ujar Jaafar.
Jaafar merupakan salah satu penulis utama sebuah undang-undang otonomi Islam yang diusulkan. Pernyataan pemimpin senior MILF tersebut muncul saat tentara pemerintah melancarkan serangan terhadap kelompok bersenjata Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BIFF) pekan lalu. Serangan ini menewaskan sedikitnya 44 militan dan melukai 26 lainnya di provinsi Maguindanao, Mindanao.
Bagi Jaafar, undang-undang yang diusulkan adalah cara yang paling tepat untuk mengakhiri konflik secara damai. Konflik telah berlangsung puluhan tahun di selatan negara itu. Undang-undang ini juga penting untuk mencegah lebih banyak bentrokan, seperti melawan BIFF.
"Kami sudah muak, jujur saja. Kami bosan dengan korupsi, kami bosan dengan nepotisme dan segala hal yang menahan tanah air Muslim kami,"katanya.
Dia memohon agar Muslim diberi kesempatan mengejar ketinggalan dengan negara lain dalam hal kemajuan ekonomi. Presiden Filipina Rodrigo Duterte telah berkomitmen mendukung undang-undang otonomi tersebut. Ia berjanji akan mendesak Kongres menyetujuinya.
Kelompok militan tersebut menandatangani sebuah perjanjian dengan pemerintah untuk membentuk sebuah wilayah dengan otonomi luas. Ini artinya mereka akan memiliki lebih banyak kekuatan dan dana untuk kaum minoritas Muslim di selatan negara tersebut. Perjanjian ini akan mengakhiri pemberontakan berdarah yang terjadi selama beberapa dekade.
Pakta perdamaian tersebut merupakan warisan besar pendahulu Duterte, Benigno Aquino III. Namun undang-undang tersebut terhenti di Kongres pada 2015 setelah beberapa pemberontak dari MILF terlibat dalam pertempuran yang menewaskan 44 komando polisi dalam sebuah operasi pemerintahan di kota tersebut.
Kasus kematian petugas keamanan ini memicu kemarahan publik. Mereka mendorong politikus menghentikan undang-undang otonomi.
Pasukan komando berhasil membunuh pelaku serangan teror Zulkifli bin Hir. Ia berasal dari Malaysia dan telah lama dicari oleh Amerika Serikat.
Tahun lalu, Ketua MILF Al Haj Murad Ebrahim mengatakan penundaan undang-undang otonomi tersebut telah membuka jalan bagi munculnya kelompok bersenjata lainnya di Mindanao. Selama pemerintahan Duterte, terhentinya undang-undang ini setelah para militan bersenjata kelompok Abu Sayyaf dan Maute, melancarkan pengepungan sebuah kota besar di Mindanao.
Pengepungan Marawi berlangsung selama lima bulan dan menyebabkan sekitar seribu orang terbunuh, termasuk lebih dari 100 tentara. Konflik tersebut telah menyebabkan sekitar 150 ribu orang tewas.
Sebelumnya, sebuah kesepakatan perdamaian telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung Filipina pada 2008. Mahkamah Agung menyebut kesepakatan tersebut inkonstitusional. Ini menyebabkan pertempuran baru.