Rabu 14 Mar 2018 16:36 WIB

Cerita di Balik Nama Tanjakan Emen

Kecelakaan yang menimpa Emen terjadi 62 tahun lalu.

Rep: M Fauzi Ridwan/ Red: Indira Rezkisari
Foto udara kawasan Tanjakan Emen, di Kabupaten Subang, Jawa Barat, Selasa (27/2).
Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Foto udara kawasan Tanjakan Emen, di Kabupaten Subang, Jawa Barat, Selasa (27/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tanjakan Emen terkenal horor. Kecelakaan di tanjakan yang sebenarnya bernama tanjakan Aman itu terjadi sehari lalu.

Uniknya, setiap ada kecelakaan di tanjakan Aman, Kampung Cicenang, Desa/Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, titik terjadinya kecelakaan kerap berada pada posisi yang sama. Situasi tersebut memunculkan kembali opini di masyarakat tentang mitos yang selama ini beredar di jalur tanjakan Aman. Banyaknya kecelakaan di jalur tersebut sering dikaitkan dengan sesosok hantu penunggu bernama Emen.

Emen dikenal sebagai seorang sopir oplet jurusan Lembang-Subang pada tahun 1955 yang mengalami kecelakaan di tanjakan Aman dan meninggal. Nama Emen sendiri bukan nama sebenarnya, melainkan nama panggilan. Nama aslinya adalah Taing.

Anak kedua Taing, Adang Edi Kurnaedi (65) yang tinggal di Kampung Bewak RT 01 RW 03, Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, mengungkapkan, nama Emen merupakan nama panggilan dari teman-temannya sesama sopir oplet. "Ia (Taing) lebih dikenal dengan nama Emen. Sebabnya, kecanduan menonton permainan cemen saat nunggu penumpang di Terminal Mandarin Lembang," ujarnya, Rabu (14/3).

Taing bercerita ayahnya mengalami kecelakaan saat mengendarai oplet di tanjakan Cicenang pada September 1956 sekitar pukul 10.00 WIB. Ia tengah membawa 12 orang penumpang.

"Tepat di jalanan menurun, rem oplet yang dibawanya blong. Kemudian, menabrak tebing dan terbalik dan terbakar," ungkapnya. Katanya, saat itu, sebelum meninggal bapaknya yang mengalami luka bakar parah sempat dibawa ke rumah Sakit Ranca Badak yang kini menjadi RSHS. Sementara, 12 penumpangnya meninggal.

Pascakematian Taing, kecelakaan banyak terjadi di lokasi tersebut karena rem blong dan mobil tak terkendali. Banyak korban yang kehilangan nyawa. Katanya, entah awalnya dari mana, para pengguna jalan sering membuang sebatang rokok saat melintas di tanjakan Aman.

Tidak hanya itu, mereka juga melemparkan uang recehan atau sekadar membunyikan klakson dengan harapan tidak diganggu dan selamat sampai tujuan. "Sikap pengguna jalan kelewat batas dan tidak masuk akal. Sebelum meninggal, Taing berpesan agar didoakan surat Al-Fatihah, bukan sebatang rokok atau uang," katanya.

Adang mengatakan, penyebab kecelakaan di jalur Cicenang lebih disebabkan kondisi kendaraan dan sopir. Sebab, selama lebih dari 30 tahun ia menjadi sopir angkutan Elf Subang-Bandung di jalur tersebut baik-baik saja.

Dia meminta agar masyarakat tidak mengaitkan kecelakaan dan penampakan sosok aneh di sekitar tanjakan Aman dengan cerita kematian ayahnya yang gentayangan.

Taing lahir tahun 1927 dan bukan warga asli Lembang atau Subang, tetapi warga Parung, Kabupaten Bogor. Kemudian, Taing pindah ke Bandung dan berjualan. Lama tinggal di Kota Bandung, Taing menikah dengan Ruminah, perempuan asal Ciparay. Taing dimakamkan di TPU Sirna Raga, Desa Jayagiri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement