Senin 19 Mar 2018 17:40 WIB

Soal Menara Masjid di Papua, Umat Lain Juga Harus Toleransi

Selama ini hanya umat Islam yang diminta memberikan toleransi.

Rep: Novita Intan/ Red: Budi Raharjo
Ulama Didin Hafidudin.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Ulama Didin Hafidudin.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Cendikiawan Muslim, Didin Hafidhuddin, mengomentari permintaan pembongkaran menara Masjid Al-Aqsha Sentani, Jayapura, Papua. Menurutnya, umat lain juga harus mau memberikan toleransi kepada umat Islam.

Selama ini, ujarnya, sikap toleransi selalu dilakukan umat Islam. Bahkan, ketika ada gesekan kerukunan umat beragama, sasaran untuk berdamai adalah umat Islam.

Karena yang disuruh toleransi selalu umat Islam, sementara umat yang lain juga harus berjiwa besar. "Jangan yang disalahkan umat Islam padahal umat yang lain juga disadarkan mereka harus mau toleransi peran dan fungsi masjid supaya ada take and give antara non-Muslim dan Muslim, ujarnya saat dihubungi Republika di Jakarta, Senin (19/3).

Persekutuan Gereja-gereja di Kabupaten Jayapura (PGGJ) menuntut pembongkaran menara Masjid Al-Aqsha Sentani, Jayapura. Alasannya, menara masjid itu lebih tinggi dari bangunan gereja yang sudah banyak berdiri di daerah itu.

Menurut Didin, sikap PGGJ perlu dipertimbangkan, jangan sampai kasus ini menguncang kerukunan umat beragama yang selama ini sudah terjalin dengan baik. Pada dasarnya, masing-masing agama memiliki SOP sehingga harus dihargai dan dihormati sesama umat beragama.

Jika di masjid ada suara adzan sebenarnya hal yang biasa karena memang tujuan adzan memanggil umat Islam untuk salat berjamaah dan mengingatkan waktu salat. "Kalau sepanjang waktu ada ngaji bisa diprotes," ucapnya.

"Imbauan masing-masing agama punya SOP kita harus menghargai, menjaga kerukunan. Kita memahami bagian ajaran dari agamanya," ujarnya menambahkan.

Ia juga menekankan tokoh pemuka agama tidak kembali membuat isu di tengah tahun politik ini. Terpenting, kerukunan umat beragama akan terjadi bila tidak mencampuri tradisi yang sudah dilakukan agama masing-masing.

"Saya kira himbauan sudah lama dilakukan untuk saling menghargai, menghormati eksistensi keberagamaan masing-masing, tidak masuk pada wilayah tradisi dan kebiasaan agama masing-masing," ujar dia.

Didin mencontohkan pada perataan nyepi yang baru lewat di Bali. Umat Islam tidak mengumandangkan adzan sebagai sikap toleransi, menghargai perbedaan.  "Papua semestinya begitu. Kasus ini seperti di Tolikara tidak suka dengan Salat Idul Fitri, saya kira jangan diungkit kembali," jelasnya.

Sebelumnya, pada 16 Februari 2018, PGGJ memutuskan beberapa hal yang menjadi sikap gereja. Sehingga perlu diketahui dan dimaklumi oleh semua pihak, sebagai berikut antara lain

1. Bunyi adzan yang selama ini diperdengarkan dari toa kepada khalayak umum harus diarahkan ke dalam masjid.

2. Tidak diperkenankan berdaqwah di seluruh tanah Papua secara khusus di kabupaten Jayapura.

3. Siswi-siswi pada sekolah negeri tidak menggunakan pakaian seragam atau busana bernuansa agama tertentu.

4. Tidak boleh ada ruang khusus seperti mushola pada fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, pasar, terminal dan kantor pemerintah.

5. PGGJ akan memproteksi area perumahan KPR BTN tidak boleh ada pembangunan masjid dan mushola.

6. Pembangunan rumah ibadah di Kabupaten Jayapura wajib mendapat rekomendasi bersama PGGJ, pemerintah daerah dan pemilik hak ulayat sesuai dengan peraturan pemerintah.

7. Tinggi bangunan rumah ibadah dan menarag agama lain tidak boleh melebihi tinggi bangunan gedung gereja yang ada disekitarnya.

8. Pemerintah dan DPR Kabupaten Jayapura wajib menyusun Raperda tentang kerukunan umat beragama di Kabupaten Jayapura.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement