REPUBLIKA.CO.ID, MEXICO CITY -- Berdasarkan hasil sementara Pemilihan Presiden Rusia, Senin (19/3), Vladimir Putin kembali terpilih menjadi Presiden Rusia. Putin berhasil mengalahkan pesaing-pesaingnya dengan raihan 75 persen suara. Ini merupakan keempat kalinya Putin terpilih sebagai orang nomor satu di Rusia tersebut.
Namun, terpilihnya Putin ini diprotes oleh band punk asal Rusia, Pussy Riot. Dalam sebuah penampilkan di festival musik di Meksiko, Pussy Riot menolak hasil pemilihan presiden tersebut. Bahkan, band yang diawaki tiga perempuan tersebut menyebut, salah satu alasan terbentuknya Pussy Riot adalah sebagai bentuk penolakan terhadap Putin, yang duduk sebagai Presiden Rusia.
''Hari ini, Vladimir Putin memenangi Pemilihan Presiden Rusia untuk keempat kalinya. Jadi kami menciptakan grup band ini, karena kami tidak menginginkan dia menjadi presiden kami. Ternyata, gerakan penolakan ini menjadi gerakan internasional. Sebenarnya, setiap orang bisa menjadi Pussy Riot, kalian semua bisa menjadi Pussy Riot,'' kata frontman Pussy Riot, Nadezhda Tolokonnikova, dikutip dari Malay Mail Online, Selasa (20/3).
Sebelum tampil di festival, yang bertajuk Vive Latino Festival tersebut, Pussy Riot sempat meluncurkan single berjudul ''Election''. Lagu ini menjadi bentuk protes Pussy Riot terhadap Pemilihan Presiden Rusia. Dalam akun Twitter resmi miliknya, Pussy Riot juga menyindir soal siapa yang bakal menang dalam Pemilihan Presiden tersebut. ''Hari ini adalah hari pemungutan suara di Rusia, (tebak siapa yang akan menang??),'' tulis Pussy Riot.
Tidak hanya berbicara tentang hasil pemilihan presiden di Rusia, dalam festival musik tersebut, Pussy Riot juga mengkritik praktik kekerasan terhadap wanita yang masih kerap terjadi di Meksiko. Berdasarkan data dari PBB, di Meksiko, setidaknya lebih dari tujuh perempuan meninggal dunia setiap hari akibat mengalami kekerasan.
Nama Pussy Riot sempat menjadi sorotan dunia, saat para anggotanya ditangkap Kepolisian Rusia pada 2012 silam, yang juga bertepatan dengan Pemilihan Presiden Rusia. Pada saat itu, Pussy Riot melakukan penampilan musik dan orasi politik di depan Katedral Christ the Savior di Moskow. Dalam penampilkan tersebut, Pussy Riot mengkritik dengan keras kebijakan-kebijakan Putin.
Atas tindakan tersebut, ketiga anggota Pussy Riot, antara lain Nadezhda Tolokonnikova, Masha Alyokhina, dan Yekaterina Samutsevich, sempat diadili dan divonis dua tahun penjara. Mereka didakwa melakukan kerusuhan, Hooliganisme, dan menyebarkan kebencian berdasarkan agama. Vonis terhadap ketiga anggota Pussy Riot ini pun menuai kontroversi dan dikecam oleh sejumlah negara-negara barat.
Akhirnya, Pengadilan Rusia memutuskan untuk menunda eksekusi penjara terhadap Samutsevich. Sementara Alyokhina dan Tolokonnikova mesti menghabiskan 22 bulan di penjara, sebelum akhirnya dibebaskan setelah menerima amnesti umum pada malam pembukaan Olimpiade Musim Dingin Socchi pada 2014 silam.