REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara bahasa, isra berarti berjalan pada malam hari atau membawa berjalan pada malam hari. Dalam kajian sejarah Islam, isra berarti perjalanan pribadi Nabi Muhammad SAW pada malam hari dalam waktu singkat dari Masjid Haram di Makkah ke Masjid Al-Aqsa di Yerusalem.
Sedangkan mikraj secara bahasa berarti tangga alat untuk naik ke atas. Dalam istilah Islam, mikraj berarti perjalanan pribadi Nabi Muhammad SAW naik dari alam bawah (bumi) ke alam atas (langit), sampai ke langit ketujuh dan sidratulmuntaha.
Dalam istilah lain, mikraj berarti kenaikan Nabi Muhammad SAW dari Masjid Al-Aqsa di Yerusalem ke alam atas melalui beberapa tingkatan terus menuju Baitulmakmur, sidratulmuntaha, arasy (tahta Tuhna) dan kursi (singgasana Tuhan) hingga menerima wahyu di hadirat Allah SWT.
Dalam perjalanan ini, Rasulullah SAW mendapat perintah mendirikan shalat lima waktu sehari dan semalam. Karena peristiwa isra bersamaan dengan mikraj, maka kedua kata itu senantiasa digabungkan pemakaiannya menjadi isra mikraj.
Peristiwa yang sangat penting dan bersejarah itu terjadi pada 27 Rajab, setahun sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Peristiwa mahadahsyat itu diterangkan Allah SWT dalam surah Al-Isra (Bani Israil) ayat 1.
‘’Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid Haram ke Masjid Al-Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi maha mengetahui.’’ (QS Al-Isra:1).
Peristiwa isra mikraj juga disebutkan dalam surah An-Najm ayat 1-18. ‘’Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-quraan) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).’’
‘’ Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha.’’
‘’Di dekatnya ada syurga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.’’ heri/disarikan dari Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru van Hoeve Jakarta.