REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak hanya persoalan tempat ibadah dan pemakaman yang membuat Muslim Yunani terluka. Pelecehan dan kekerasan berdasarkan rasis terhadap kaum imigran juga kerap mewarnai kehidupan Muslim di sana. Seperti yang berlangsung pada Mei tahun lalu, seorang anggota kepolisian Yunani melecehkan kitab suci Alquran.
Insiden pelecehan itu terjadi saat seorang polisi Yunani menggeledah kedai kopi milik seorang Muslim asal Suriah. Saat penggeledahan itu, polisi mengambil Alquran dari tangan seorang pelanggan di kedai kopi itu, kemudian merobeknya dan membuangnya ke lantai, lalu menginjak-injak robekan Alquran itu.
Kejadian tersebut kontan memicu kemarahan warga Muslim di sana. Keesokan harinya, sekitar seribu Muslim imigran di Yunani yang kebanyakan dari Suriah, Pakistan, dan Afghanistan melakukan aksi massa di alun-alun Kota Athena, Omonia.
Bagi warga asli Yunani, keberadaan kaum imigran menjadi persoalan tersendiri. Perasaan mendesak yang keluar adalah Yunani memiliki terlalu banyak imigran dan mereka seharusnya keluar, ujar Dimitris Levantis, kepala anti-rasisme SOS Rasisme, kepada AFP.
Negara yang kini menjadi rumah bagi ribuan imigran Muslim banyak didatangi pendatang ilegal demi mencari penghidupan lebih baik. Athena saja memiliki sekitar 100 ribu Muslim dari latar belakang Albania, Mesir, Pakistan, Bangladesh, Maroko, Syiria, dan Nigeria. Para imigran Muslim ini sering kali terpaksa tinggal di kawasan perumahan kumuh yang bersewa rendah atau bangunan tidak terpakai.
Sepanjang tahun 2009 lalu, terjadi beberapa tindakan kekerasan terhadap imigran Muslim di Yunani. Salah satunya adalah insiden pembakaran ruang bawah tanah yang digunakan sebagai masjid oleh imigran Muslim asal Bangladesh. Peristiwa tersebut menyebabkan lima orang yang terjebak di dalamnya mengalami luka bakar.
Serangan rasis terhadap para imigran semakin memburuk akibat situasi ekonomi negara yang tak menentu karena dampak dari pukulan resesi global. Situasi di Athena menjadi lebih parah karena krisis ekonomi menghantam keras, ujar Abu Mahmoud.