REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Pemerintah (PP) Jaminan Produk Halal (JPH) sebagai peraturan pelaksana undang-undang yang tidak kunjung terbit menjadikan tidak berfungsinya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Padahal, UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sudah memasuki tahun keempat.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lukmanul Hakim mengatakan, tarik-menarik kepentingan antara kementerian terkait dalam pembahasan rancangan peraturan pemerintah (RPP) menyebabkan terhambatnya penerbitan PP.
"Ketika ada polemik tentang PP tersebut sekarang harus mencari jalan keluar supaya tidak terlalu panjang ke pasal 59 dan 60 sudah disebut di UU bahwa MUI memerankannya dan itu membutuhkan PP," ujarnya kepada Republika.co.id, di Jakarta, Selasa (17/4).
Menurut dia, belum terbitnya PP tersebut cukup memberatkan MUI. Sebab, MUI juga harus membantu menyiapkan auditor halal. Ada sekitar 1.700 auditor halal yang dimiliki LPPOM MUI.
BPJPH dan MUI hingga kini belum rampung merumuskan standar akreditasi bagi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan sertifikasi bagi auditor halal pascadiundangkannya UU JPH. "Karena harus membutuhkan PP maka kita mundur terlalu jauh. Jadi, alternatifnya ke pasal 59 dan 60 atau status quo. Status quo bukan berarti tidak berlandaskan hukum," kata Lukmanul.
Artinya, landasan hukum yang lalu, yaitu PP tahun 1999 tentang pangan tahun 1996 dan keputusan Menteri Agama No 519 tahun 2005, sudah menguatkan pasal 59 dan 60. "Mengapa saya memilih pasal tersebut karena konsekuensinya di pembiayaan dan sifat mandatory-nya akan memberatkan MUI," ujarnya.
Kecuali status quo, menurut Lukmanul, justru akan menjadi win-win solution. Maka, MUI siap melaksanakan, tetapi tidak dibebani sejumlah itu dan menyiapkan jumlah auditor yang cukup banyak karena MUI tidak mempunyai anggaran.
"Karena harus mengerjakan dalam satu tahun mandatory angkanya jutaan itu. Karena yang seperti yang saya katakan tadi, berarti seolah-olah melempar batu bara ke MUI. Di detik-detik terakhir diserahkan ke MUI. Hal ini kan justru menjadi bara. Bukan mau menolak pasal 59 dan 60 serta mandatory, namun harus dikaji secara mendalam," ungkapnya.
"Kalau dari 2014 saya mendukung mandatory karena skemanya terhitung realistis jika dibagai 6 bulan tidak masalah, sedangkan ini 18 bulan. MUI yang nantinya akan dituntut oleh semua pihak," kata Lukmanul menegaskan.
Di sisi lain, proses verifikasi awal sertifikat halal berlangsung selama dua bulan dari pendaftaran sampai mendapatkan sertifikat. Ia mengungkapan, untuk produk kosmetika, proses sertifikasi halal cukup ada peningkatan.
"Kosmetik sudah mulai naik, termasuk juga obat, namun belum secara signifikan karena terlambat dan teman-teman di farmasi berpolemik tentang pentingnya sertifikasi halal," ucapnya.
Lukmanul meminta produsen harus punya pemenuhan kebutuhan konsumen yang harus bersertifikat halal. "Harus jadikan halal ini sebagai nontarif berrier dan itu sebagai kompetitif. Dengan konsennya konsumen Muslim, kita yang fokus dengan produk yang halal sebabkan membatasi masuknya produk luar negeri," ungkapnya.