REPUBLIKA.CO.ID, PHNOMPENH -- Pengadilan di Kamboja pada Kamis (19/4), menolak memberikan jaminan kepada dua wartawan yang didakwa melakukan kegiatan mata-mata. Kedua wartawan ini membuat berita ke stasiun radio yang didanai Amerika Serikat (AS).
Perkara Uon Chhin dan Yeang Sothearin itu menambah kekhawatiran tentang tindakan keras terhadap kritik dan perbedaan pendapat oleh Perdana Menteri Hun Sen, yang bertujuan memperpanjang pemerintahannya lebih dari tiga dasawarsa dalam pemilihan umum pada Juli. "Pengadilan menolak banding kami," kata Keo Vanny, pengacara untuk pasangan terdakwa itu, kepada wartawan setelah sidang tersebut.
"Mereka menguatkan putusan pengadilan Phnompenh, yang melanjutkan penahanan pra-peradilan," tambahnya.
Kedua wartawan itu bekerja di Radio Free Asia (RFA) yang berpusat di Washington, yang mengudara dalam bahasa Khmer, dan yang dikritik pemerintah karena bias terhadap oposisi. RFA menutup kantor Phnom Penh-nya pada September, mengeluhkan "tindakan keras tanpa henti terhadap suara independen", yang membuatnya tidak mungkin untuk menjamin "integritas misi jurnalistik RFA".
Kedua wartawan tersebut telah berada dalam penahanan pra-peradilan sejak penangkapan mereka pada November. Mereka dituduh "memberikan informasi yang merusak pertahanan nasional pada negara asing" setelah mereka tertangkap diketahui memberikan cerita mereka ke RFA.
Kedua pria tersebut menyangkal tuduhan terhadap mereka yang membawa hukuman penjara hingga 15 tahun. "Ini sangat tidak adil. Mereka berniat membuat kami menderita," kata Yeang Sothearin yang diborgol kepada wartawan ketika polisi membawanya pergi setelah sidang.
"Pemerintah membalas dendam pada kami karena kami menyiarkan situasi nyata tentang Kamboja," tambahnya.
Juru bicara pemerintah, Phay Siphan, menolak tudingan pemerintah membalas dendam pada kedua wartawan itu, mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa menerima yang dikatakan wartawan tersebut.
Wartawan ditangkap beberapa hari sebelum Mahkamah Agung membubarkan oposisi utama Partai Penyelamatan Nasional Kamboja, setelah dituduh merencanakan untuk mengambil alih kekuasaan dengan bantuan Amerika Serikat. Partai tersebut dan Amerika Serikat membantah tuduhan itu.
Hun Sen dan pemerintahannya menolak tuduhan melakukan pelanggaran hak asasi manusia.