Kamis 19 Apr 2018 22:25 WIB

Pemimpin Tentara Myanmar Sebut Pembantaian Warga Rohingya

Sebanyak 700 ribu warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar.

Red: Nur Aini
Warga Myanmar menghadiri acara yang mendukung militer negara dan pegawai pemerintah di Yangon, Myanmar, 29 Oktober 2017. Tentara Myanmar menikmati lonjakan popularitas di tengah isu Rohingya.
Foto: AP/Thein Zaw
Warga Myanmar menghadiri acara yang mendukung militer negara dan pegawai pemerintah di Yangon, Myanmar, 29 Oktober 2017. Tentara Myanmar menikmati lonjakan popularitas di tengah isu Rohingya.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemimpin tentara Myanmar Min Aung Hlaing kepada jajarannya mengatakan bahwa mereka harus mematuhi hukum. Dia mengutip sebagai contoh hukuman terhadap tujuh tentara atas pembantaian warga Rohingya.

"Dalam pidato di sekolah tentara di bagian utara negara itu, Min Aung Hlaing memberi tahu tentara bahwa mereka harus mematuhi asas perilaku tentara dan hukum dan kesepakatan antarbangsa," kata terjemahan, yang dipasang di halaman Facebook resminya pada Kamis (19/4).

"Tidak ada yang di atas hukum. Tindakan akan diambil jika seseorang melanggar hukum. Masalah di desa Inn Din terpecahkan sejalan dengan Kesepakatan Jenewa dan tindakan hukum diambil terhadap perwira tentara dan pejabat lain, yang tidak menghormati hukum," kata Min Aung Hlaing dalam tanggapan langsung pertamanya tentang pembunuhan itu.

Tujuh tentara dijatuhi hukuman hingga 10 tahun penjara dengan kerja keras pada bulan ini karena mengambil bagian dalam pembantaian 10 warga Rohingya di desa Inn Din, negara bagian Rakhine, Myanmar baratlaut, pada September. Pembantaian itu diselidiki dua wartawan Reuters -Wa Lone, 32, dan Kyaw Soe Oo, 28- yang ditangkap pada Desember dan masih ditahan dengan tuduhan melanggar undang-undang rahasia negara tersebut.

Pihak berwenang mengatakan kepada Reuters pada Februari bahwa tentara membuka penyelidikan ke dalam terhadap pembunuhan itu secara mandiri. Mereka mengatakan bahwa itu tidak berhubungan dengan wartawan Reuters tersebut. Wartawan tersebut dituduh mendapatkan naskah rahasia pemerintah.

Warga Rohingya itu dimakamkan di kuburan massal pada awal September setelah dibunuh atau ditembak oleh orang Budha tetangganya dan tentara. Reuters menerbitkan cerita tentang pembunuhan tersebut pada Februari.

Pembunuhan itu adalah bagian dari penumpasan lebih besar oleh tentara terhadap Rohingya. Mereka mengalami pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran, dan penjarahan akibat tanggapan atas serangan pejuang Rohingya terhadap keamanan pada akhir Agustus.

Hampir 700 ribu warga Rohingya lari dari Myanmar. Perserikatan Bangsa-Bangsa bersama Amerika Serikat menggambarkan pembantaian itu sebagai pembersihan suku. Tuduhan tersebut ditolak Myanmar.

Min Aung Hlaing merupakan salah satu orang paling berkuasa di negara tempat undang-undang dasar mewajibkan pemerintah Aung San Suu Kyi berbagi kekuasaan dengan tentara. Dalam pidatonya, dia menegaskan sikap tentara bahwa gerakan Rakhine adalah serangan balasan sah terhadap "teroris Bengali".

Baca juga: Menteri Myanmar Sebut Camp Pengungsi Rohingya Sangat Buruk

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement