REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Direktur Utama Dompet Dhuafa Filantropi, Imam Rulyawan, berkesempatan membagikan pengalaman DD dalam mengelola wakaf di Konferensi Internasional Filantropi Islam Asia Tenggara. Baik tentang wakaf tidak bergerak maupun wakaf bergerak seperti uang.
"Hari ini begitu banyak aset yang harus bisa produktif, dalam bentuk tanah atau bangunan, tapi tidak bisa produktif karena tidak ada dana untuk memproduktifkan," kata Imam kepada Republika.co.id saat ditemui usai mengisi diskusi panel, Rabu (25/4).
Untuk itu, dia menilai, gerakan wakaf uang atau mewakafkan uang walau bernilai kecil, akan sangat memberi dampak yang besar. Misalkan Rp 10 ribu setiap bulan, tapi ada satu juta orang bergerak, satu bulan sudah ada Rp 10 miliar.
Jika dikomulasikan, wakaf uang dalam lima bulan saja dari angka awal Rp 10 ribu itu sudah bisa mengumpulkan Rp 50 miliar, dan Rp 120 miliar selama setahun. Jumlah itu tentu sudah bisa menjadi modal awal untuk memproduktifkan wakaf. "Menjadi modal dana awal untuk menjadi investasi pengelolaan tanah-tanah atau bangunan yang tidak produktif tadi," ujar Imam.
Dia melihat, pemahaman seperti inilah yang harus ditanamkan kepada seluruh masyarkat Indonesia. Terlebih, wakaf bukan kewajiban melainkan ajakan, dan berwakaf atau wakif tidak harus Muslim. Artinya, bagi masyarakat Indonesia yang non-Muslim sekalipun sangat boleh melakukan wakaf. Bahkan, lanjut Imam, penerima manfaat dari surplus wakaf saudara-saudara non-Muslim boleh menikmatinya. "Jadi kalau Anda Pancasilais, Anda berwakaf dong," kata Imam.
Imam menjadi pembicara dalam diskusi panel hari kedua, yang dipandu Direktur Institut Manajemen Zakat (IMZ), Kushardanta Susilabudi. Imam menjadi pembicara bersama Ketua Badan Ami Zakat Nasional (Baznas) Bambang Sudibyo dan Direktur P3EI FE Universitas Islam Indonesia (UII).