REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Prancis Emmanuel Macron telah menyelesaikan pertemuan bilateral. Salah satu yang dibahas dalam pertemuan itu adalah perjanjian nuklir Iran.
Dalam jumpa pers usai pertemuan, kedua kepala negara seakan menyiratkan dibutuhkannya perjanjian baru yang lebih komprehensif terkait perjanjian nuklir dan pengaruh Iran di Timur Tengah. Trump yang skeptis dengan kesepakatan yang ada mengatakan seputar pakta baru yang mungkin disetujui.
Trump secara retoris kembali mengkritik perjanjian nuklir atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang dicapai pada 2015 lalu. Dia mengatakan, kesepakatan itu tidak membahas pengaruh Iran di Timur Tengah atau program rudal balistik mereka.
Donald Trump menyebut perjanjian tiga tahun lalu merupakan kesepakatan yang gila, konyol serta buruk. Trump mengatakan, kesepakatan dibangun di atas pondasi yang busuk dan akan segera runtuh mengingat itu merupakan transaksi yang buruk.
"Mereka seharusnya memasukkan Yaman, Suriah, dan bagian Timur Tengah lainnya dalam perjanjian tersebut," kata Trump seperti dikutip BBC, Rabu (25/4).
Presiden Emmanuel Macron sepakat dengan apa yang dikatakan Trump. Macron menegaskan, pengaruh Iran di kawasan harus masuk dalam negosiasi perjanjian tersebut. Dia bersama Trump mengaku tengah membuat kerangka baru terkait Timur Tengah, terutama Suriah.
Macron menekankan pentingnya kontrol terhadap program nuklir Iran dalam beberapa dekade seperti yang diatur dalam perjanjian yang ada. Tapi di saat yang bersamaan diperlukan juga kesepakatan baru yang mengatur aktifitas nuklir dan program balistik mereka dalam jangka panjang.
"Kita harus membangun perdamaian, disamping kehadiran militer disana," kata Macron.
Meski demikian, masih belum jelas apakah Macron berhasil membujuk Donald Trump untuk tidak menarik diri dari kesepakatan yang ada atau tidak. Trump hanya mengatakan, akan ada reaksi yang berkelanjutan jika Iran memulai kembali program nuklir mereka.
Kondisi tersebut membuat nasib dari perjanjian nuklir dengan Iran yang dicapai pada 2015 lalu masih belum jelas. Negara-negara lainnya yang juga menandatangani kesepakatan serupa, seperti Cina, Inggris, Jerman dan Rusia juga belum diketahui akan memiliki pendapat yang sama.
Sementara, Kanselir Jerman Angela Merkel diperkirakan juga akan mendiskusikan kesepakatan nuklir Iran dalam kunjungannya ke Gedung Putih. Seorang pejabat AS yang dekat dengan isu tersebut mengatakan, kunci dari kesuksesan kesepakatan baru adalah memberikan negara-negara Eropa lebih banyak waktu untuk menguatkan syarat-syarat kesepakatan Iran.
Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan, akan ada konsekuensi yang sangat buruk jika AS menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015. Iran memiliki banyak pilihan jika pada akhirnya AS menanggalkan komitmen mereka dalam kesepakatan tersebut.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan, akan memulai kembali pengayaan uranium yang merupakan bahan kunci untuk membuat nuklir sebagai respon pilihan dari pertemuan tersebut. Hal itu diungkapkan Zarif sebelum pertemuan Trump dan Macron dimulai.
"Anda tidak dapat menghentikan proses atau tidak terlibat hanya karena takut gagal. Tetapi setidaknya Anda harus memiliki harapan sukses, prospek untuk sukses agar proses ini dapat dimulai," kata Mohammad Javad Zarif.
"Dan saya tidak percaya bahwa, dalam keadaan sekarang, dengan nada yang ada sekarang, dan bahasa serta pendekatan pemerintahan saat ini di Washington, Anda akan memiliki banyak prospek," ujarnya menambahkan.
Pemerintah Iran mengatakan, program nuklir yang ada dilakukan semata-mata untuk kepentingan warga dan perdamian. Program nuklir tersebut membawa Iran pada sanksi ekonomi internasional. Perjanjanjian yang berlaku saat ini meringankan sanksi tersebut kepada Iran.
Kesepakatan nuklir tersebut akan hangus pada 2025 mendatang. Namun, Trump menilai ada kecatatan dalam perjanjian itu. AS mengancam akan keluar dari kesepakatan jika kecatatan yang ada tidak diperbaiki. Keluarnya AS dari perjanjian akan berujung pada pemberlakuan sanksi kembali bagi Iran.
Pemerintah AS kini hanya memiliki batas waktu hingga 12 Mei mendatang sebelum harus mengambil keputusan untuk mempertahankan atau keluar dari kesepakatan tersebut.