REPUBLIKA.CO.ID, Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un telah melakukan pertemuan bersejarah dengan Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in pada Jumat (27/4). Keduanya bertemu di Rumah Perdamaian, yang terletak di garis demarkasi militer sisi Korea Selatan di wilayah gencatan senjata, Desa Panmunjom.
Itu terjadi setelah memanasnya hubungan diplomatik kedua negara dalam periode singkat. Kondisi pertemuan itu sangat kontras dengan meningkatnya ketegangan tahun lalu menyusul serangkaian uji coba senjata nuklir dan rudal dari Korut.
Pertemuan antara Kim Jong-un dan Moon Jae-in juga menjadi yang ketiga kalinya. Para pemimpin kedua negara itu telah bertemu sejak dimulainya Perang Korea pada 1950. Namun, pada Jumat itu pula Moon dengan hangat menjabat tangan Kim. Keduanya bahkan berjanji untuk segera mengakhiri perang yang sudah berlangsung hampir tujuh dekade di Semenanjung Korea.
Akhirnya, pertemuan puncak bersejarah antar-Korea itu menghasilkan kesimpulan yang dinilai positif oleh Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Kantor berita KCNA memuji pertemuan itu sebagai "tonggak baru" menuju kemakmuran bersama. Media tersebut juga memuat teks lengkap deklarasi itu.
Dilaporkan BBC, Sabtu (28/4), Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyambut pertemuan bersejarah antar-Korea. Selain itu, juga mendesak untuk denuklirisasi.
Pada KTT pertama setelah ketegangan hubungan diplomatik kedua Korea, Kim Jong-un dan Moon Jae-in berjanji untuk denuklirisasi Semenanjung Korea. Kedua belah pihak mengatakan, mereka akan bekerja sama dengan AS dan Cina untuk mendeklarasikan resmi berakhirnya Perang Korea 1950-1953 dan mencari kesepakatan untuk membangun perdamaian permanen dan solid di tempat gencatan senjata. Hasil pertemuan bersejarah itu menyebut Korut dan Korsel resmi menyatakan berakhirnya Perang Korea. Perang tersebut membuat kedua negara bermusuhan selama 65 tahun terakhir.
Deklarasi tersebut secara resmi disebut "Deklarasi Panmunjom untuk Perdamaian, Kemakmuran, dan Penyatuan di Semenanjung Korea". Itu dihasilkan setelah seharian penuh rapat dan percakapan pribadi selama 30 menit. Deklarasi itu muncul pada satu jam terakhir pertemuan antara Kim dan Moon.
"Kedua pemimpin dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa tidak akan ada lagi perang di Semenanjung Korea dan era baru perdamaian telah dimulai," demikian bunyi deklarasi KTT Korea Utara-Korea Selatan itu, seperti dikutip dari CNN, Jumat (27/4).
Meski tidak menyebut secara langsung mengenai denuklirisasi, dokumen Panmunjom Declaration for Peace, Prosperity, and Unification on the Korean Peninsula yang ditandatangani oleh kedua pemimpin secara jelas mengonfirmasi tujuan bersama untuk merealisasi Semenanjung Korea yang bebas nuklir, melalui denuklirisasi penuh.
"Korea Selatan dan Utara memiliki pandangan bahwa langkah yang diinisiasi oleh Korut sangat berarti dan krusial untuk denuklirisasi di Semenanjung Korea dan sepakat untuk mengambil peran dan kewajiban masing-masing untuk hal tersebut," bunyi deklarasi itu.
"Korea Selatan dan Utara sepakat untuk secara aktif mencari dukungan dan kerja sama komunitas internasional untuk denuklirisasi Semenanjung Korea," lanjut dokumen tersebut. Sementara itu, ketika pers menanyakan soal Kim yang tidak menyebut denuklirisasi, juru bicara kepresidenan Korsel mengatakan, dokumen itu merupakan kesepakatan yang mengikat, sedangkan pidatonya tidak.
Minat dalam pembicaraan di seluruh dunia tidak dapat diremehkan. Pertemuan bersejarah itu memecahkan sebuah rekor, dengan menarik 2.833 jurnalis telah terdaftar untuk meliput peristiwa di desa gencatan senjata perbatasan Panmunjom itu, yang mewakili 168 dari Korsel dan 180 media luar negeri.
Namun, dilaporkan the Globe and Mail, jurnalis asal Kanada, Doug Sanders, yang berpengalaman menulis isu internasional, memandang pertemuan kedua pemimpin itu tampaknya belum akan menghasilkan kesepakatan konkret dalam waktu dekat. Perjalanan masih panjang.
Sementara bagi Moon, perdamaian duo Korea memiliki makna yang lebih dari sekadar makna diplomasi. Siapa sangka bahwa ternyata kedua orang tuanya berasal dari Korut? Moon terlahir dari pasangan miskin yang tinggal di Busan, Korsel. Dilansir di the Globe and Mail, pada akhir 1950 ketika Perang Korea kian memuncak hingga melibatkan sejumlah negara adidaya, pasangan muda asal Korut itu dievakuasi dari reruntuhan bangunan di kota mereka oleh tentara AS. Mereka dibawa ke sebuah lokasi pengungsian di Korsel.
Pada 1953 ketika Perang Korea berakhir dengan gencatan senjata, pasangan pengungsi itu melahirkan seorang putra. Sang putra itu kini menjadi presiden Korsel. Dia adalah Moon Jaein.
n ap ed: yeyen rostiyani