Jumat 18 May 2018 18:14 WIB

Cerita Generasi Muda Muslim Korea Selatan

Mereka menjawab segala informasi miring dan kesalahpahaman seputar Islam.

Muslim di Korea melangkah ke;uar dari salah satu masjid di Seoul.
Foto: EPA
Muslim di Korea melangkah ke;uar dari salah satu masjid di Seoul.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari ini, Muslim di Korea Selatan (Korsel) memang masih minoritas, hanya 0,2 persen dari seluruh jumlah penduduk. Namun, hari demi hari, Islam kian berkembang di negeri ini.

Riak-riak hubungan bilateral dengan Cina seiring perkembangan sistem Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) oleh Korsel membuat wisatawan dari Cina menurun. Tak ayal, Korsel membuka pintu bagi wisatawan Muslim untuk mengisi penurunan wisatawan yang terjadi. Dari tahun ke tahun, wisatawan Muslim yang melancong ke Korsel terus ber tambah jumlahnya.

Jumlah wisatawan Muslim yang datang ke Korea Selatan naik 33 persen pada 2016 diban ding 2015. Organisasi Pariwisata Korsel (KTO) memprediksi, jumlah wisatawan Muslim akan mencapai 1,2 juta orang pada 2017. Mereka berasal dari Malaysia, Indonesia, Turki, Arab Saudi, dan Qatar.

photo
Masjid Pusat Seoul menjadi salah satu lokasi tujuan wisatawan muslim Indonesia

Menjaring potensi yang ada, negeri di sisi selatan Semenanjung Korea ini menggencarkan sertifikasi halal di kalangan pelaku usaha res toran dan memperbanyak mushala. Organisasi Pariwisata Seoul juga secara khusus membuat video promosi restoran ramah Muslim di sekitar ibu kota.

Awal 2015, KTO menerbitkan buku panduan pariwisata Muslim untuk agen-agen perjalanan lokal. Program ini merupakan upaya KTO untuk menarik lebih banyak kunjungan wisatawan Muslim.

Buku panduan itu menjelaskan mengenai apa yang harus dan jangan dilakukan saat menangani wisatawan Muslim di restoran, hotel, dan rumah sakit. Selain itu, di dalamnya juga terdapat penjelasan kultur umat Islam serta pentingnya pasar Muslim bagi industri pari wisata global.

KTO berharap, industri makin bisa menyesuaikan dengan beragam wisatawan yang da tang, termasuk dari negara-negara Muslim. Begitulah Korsel hari ini, semakin ramah ter hadap wisatawan Muslim. Namun, bagaimana dengan umat Islam yang hidup di Korsel, apakah mereka juga mendapat perlakuan yang ramah? Seperti apa pula sejarah keberadaan mereka di negeri ini?

photo
Sejumlah turis Muslim asal Indonesia berpose di depan salah satu masjid di Korea Selatan.

Indentitas keislaman

Seperti dilansir Aljazeera, kontak Islam dengan Semenanjung Korea telah berlangsung sejak berabad silam. Pada era Dinasti Joseon (1392-1910 M), kerajaan mengeluarkan dekrit yang melarang praktik ritual Islam dan penggunaan pakaian Muslim. Dekrit itu dimaksudkan sebagai bagian pembatasan kontak dengan negara-negara asing pada 1427 M.

Islam lalu dikenalkan kembali ke Korsel melalui tentara Turki yang terlibat dalam Perang Korea pada 1950-1953 M. Kala itu, belasan ribu tentara Turki menjadi tenaga sukarela yang bahu-membahu membantu tentara Korsel.

photo
Tentara Turki

Selama perang, tentara Turki membangun tenda mushala. Tenda itu semula memang khu sus untuk tempat shalat tentara Turki. Namun, fungsinya berkembang jadi tempat berinteraksi tentara dari dua negara. Pada awal abad ke-20 itulah Islam perlahan mulai dikenal warga Korsel.

Setelah perang usai, banyak dari mereka memilih menetap dan mulai mengenalkan Islam kepada warga lokal. Keterlibatan tentara Turki dan bantuan sukarela itu meninggalkan kenangan tersendiri sehingga bangsa Turki se olah saudara sedarah bagi Korsel.

Dalam kehidupan sehari-hari, Muslim yang berdarah asli Korsel harus menyeimbangkan antara jati dirinya sebagai Muslim dan sebagai warga Korsel. Artinya, mereka harus menyeimbangkan antar identitas kekoreaan mereka dengan agama yang mereka anut.

Hal itu pula yang dilakukan salah satu Muslim berdarah Korea asli, Imam A Rahman Lee Ju-Hwa. Setelah memeluk Islam pada 1984, sulit bagi dia menolak permintaan teman-temannya untuk menghabiskan waktu minum bersama. Kala itu, teman-temannya tak mengerti agama yang Imam Lee anut dan tetap memaksanya untuk minum. Butuh waktu memahamkan mereka hingga akhirnya mengerti.

Penyanderaan warga Korsel oleh Taliban di Afghanistan pada 2007 lalu menjadi titik kritis bagi Islam di Korsel. Saat kejadian berlangsung, polisi berjaga di depan Masjid Sentral Seoul agar tak jadi sasaran protes dan ancaman bom sebagai reaksi warga atas penyanderaan itu. Di dekat Masjid Sentral Seoul yang berada di kawasan Itaewon terdapat sebuah jalan yang disebut warga setempat sebagai Jalan Muslim. Jalan menurun ini dipenuhi restoran Timur Tengah dan toko manisan Turki.

Harun Kara adalah salah seorang warga keturunan Turki yang bekerja di sana. Korsel memiliki komunitas warga Turki yang mulai ada saat 15 ribu tentara Turki menginjakkan kaki di Korsel untuk ambil bagian dalam Perang Korea.

Safiya Kang punya cerita sendiri soal keislamannya. Setelah 10 tahun bekerja sebagai manajer akuntansi di Masjid Sentral Seoul, ia memutuskan menjadi Muslimah pada 2015. Sama seperti kebanyakan orang Korsel lainnya, semula ia pun tak tahu apa-apa soal Islam. Namun, Safiya penasaran dengan sosok Rasulullah SAW, Allah SWT, dan Islam. Setelah tahu, ia yakin Islam adalah jalan yang benar. Dari sana Safiya mengucap syahadat.

Keluarga Safiya bisa memahami pilihannya. Suami Safiya yang masih memeluk Kristen pun tak keberatan, bahkan menyukai makanan ha lal. Meski demikian, Safiya belum setiap hari ber jilbab. Alasannya, ia masih belum bisa me nerima bila orang-orang memandanginya ka rena berjilbab. Maka, ia hanya mengenakan jil bab pada acara-acara khusus.

photo
Muslim saat shalat di Masjid Sentral Seoul, di Korea Selatan.

Safiya menemukan kedamaian dalam Islam. Ia pun terus berusaha menyeimbangkan iden titas diri sebagai manusia, wanita, warga Korsel, sekaligus sebagai Muslimah. Sejujurnya, ia merasa lebih bebas mengakui diri sebagai se orang warga Korsel dibanding Muslimah. Na mun, ia juga manusia yang tak bisa berbo hong akan perubahan dalam dirinya.

Seorang Muslim Korea Selatan lainnya, Ahmad Cho (48 tahun), menjadi Muslim pada 1990. Ia merupakan satu dari 40 Muslim Korsel yang pernah mendapat undangan berhaji pada 2000. Ia menangis saat akhirnya bisa melihat langsung Ka'bah dengan matanya. Ahmad kini bekerja sebagai agen pemasaran sebuah perusahaan kosmetik halal asal Malaysia.

Sementara, Emir Kim (28 tahun) termasuk yang meyakini kuatnya hubungan Korsel dengan Turki. Ia mendapat informasi seputar Islam dari teman-temannya yang berasal dari Turki saat mereka berlibur bersama ke Cina pada 2010. Dari semula hanya tertarik di per mukaan, Emir malah makin ingin tahu lebih dalam tentang Islam.

Hal yang pertama menarik perhatiannya adalah bagaimana Islam mengatur rutinitas hidup penganutnya. Kemudian, konsep kesetaraan dan persaudaraanlah yang Emir sangat kagumi dari Islam.

Korsel adalah negara Konfusianis konservatif di mana banyak hal diatur berjenjang. Tata bahasa yang dipakai juga menyesuaikan kepada siapa seseorang bicara berdasarkan usia. Hierarki bahasa dan level familiaritas membuat sistem di masyarakat jadi rumit. Bagi Emir, standar sosial semacam itu menghambat. Tanpa hierarki macam itu, Emir merasa hidupnya lebih bebas. Karena itu, Emir lebih nyaman saat bersama saudara-saudaranya sesama Muslim karena tak ada urusan soal usia, latar budaya, atau hal lain.

Pada Mei 1975, Mustafa Lee Dong Cho sempat bekerja di Arab Saudi. Ia termasuk dalam gelombang pekerja Korea Selatan yang dikirim untuk mengerjakan proyek pembangunan Arab Saudi pada 1970-an. Di sana, ia kemudian mengenal Islam dan menjadi Muslim. Sepulang dari Saudi pada 1981, ia resmi mengganti nama menjadi Mustafa.

Cerita berbeda dipunyai Umar (Daesik) Choi. Setelah menempuh pendidikan studi Arab dan Islam di Arab Saudi, Umar berusaha mem bangun kesadaran masyarakat Korsel terhadap Islam. Bisa dibilang, Umar adalah generasi baru Muslim Korea Selatan yang muda dan melek teknologi. Bersama Organisasi Pariwisata Seoul, Umar mempromosikan wisata halal dan restoran ra mah Muslim melalui kanal Youtube dengan prog ram yang diberi judul From Kebab to Kebab.

Generasi muda Muslim Korsel lainnya ada lah Ola Bora Song yang menjadi Muslimah pada 2007 lalu, saat terjadi penyanderaan sejumlah warga Korsel di Afghanistan. Ia harus melalui masa sulit dengan segala umpatan dan ejekan atas keislamannya. Bagi warga Korsel, wisatawan Muslim bisa diterima, tapi tidak Muslim berdarah asli Korea Selatan.

Ola kini berkeja di Masjid Sentral Seoul. Ia mengajarkan dan mengenalkan Islam kepada warga Korsel yang ingin mengetahui tentang Islam. Di sanalah Ola mencoba menjawab se gala informasi miring dan kesalahpahaman seputar Islam. Ola berharap, apa yang ia sam paikan dapat membantu meluruskan pan dang an tentang Islam bahwa Islam adalah agama kedamaian dan penuh penghormatan.

Usaha Ola tersebut tampaknya menunjuk kan hasil. Mereka yang sebelumnya tidak tahu dan salah mengerti tentang Islam biasanya akan menghampiri Ola dan menyampaikan permintaan maaf.

Sekitar 1.000-2.000 orang datang ke kelas yang diampu Ola. Dari jumlah itu, hanya 10 persen yang ingin mendalami Islam dan berniat mengucapkan syahadat. Dengan sebanyak 140 ribu orang pengikutnya di Instagram, Ola jadi inspirasi Muslim dan Muslimah Asia. Di Seoul di mana tampilan merupakan bagian penting yang terintegrasi di masyarakat, Ola ingin kerudung yang ia kenakan menjadi per nyataan atas identitas ganda yang disan dang nya, seorang Muslim sekaligus warga Korsel.

sumber : Islam Digest Republika
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement