REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pemerintah Iran agaknya geram dengan tuntutan yang diminta Amerika Serikat (AS) terkait pakta nuklir 2015 lalu. Teheran mengecam langkah AS yang akan menjatuhkan sanksi paling kuat sepanjang sejarah terhadap mereka.
(Baca: AS Sampaikan 12 Tuntutan Kepada Iran)
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan, sikap yang dilakukan AS menunjukan jika mereka merupakan tahanan dari gagalnya sejumlah kebijakan negara. Dia mengatakan, hal tersebut pada akhirnya akan memberikan konsekuensi bagi AS.
Lebih jauh, dia menyebut langkah yang diambil AS merupakan regresi dari kebiasaan lama yang didikte oleh kepentingan yang korup. Dia melanjukan, upaya diplomasi yang kerap dilalkukan Paman Sam merupakan sebuah hal palsu.
"Langkah itu mengulangi pilihan yang salah dan pada akhirnya akan menuai hasil buruk serupa. Sementara Iran, bekerja dengan mitra untuk solusi JCPOA pasca-AS," kata Zarif seperti diwartakan dikutip Aljazirah, Selasa (22/5).
JCPOA merupakan pakta nuklir 2015 yang membebaskan Iran dari sanksi ekonomi internasional. Perjanjian itu disepakati oleh Eropa, AS, Cina dan Rusia. Belakagan Presiden AS Donald Trump menarik diri dari kesepakatan tersebut.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE) Federica Mogherini juga melakukan kritik terhadap langkah yang diterapkan AS seperti yang dikemukakan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo. Mogherini mengatakan, Pompeo telah gagal untuk menunjukan bagaimana JCPOA yang telah hancur dapat membuat timur tengah lebih aman.
Dia menegaskan, tidak ada alternatif yang lebih baik dari pada pakta JCPOA yang telah diabaikan Trump. Dia mengatakan, UE akan terus menjaga pakta tersebut jika Iran tetap menunjukan komitmen serupa.
Seperti diketahui, Mike Pompeo telah menetapkan 12 tuntutan untuk dimasukkan dalam perjanjian nuklir baru dengan Iran. Menurut Pompeo, tuntutan-tuntutan tersebut akan memaksa Iran untuk secara efektif menahan pengaruh militer dan politiknya di Timur Tengah.