REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai pemberantasan korupsi tidak selesai hanya dengan memenjarakan dan membina para narapidana kasus korupsi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Sebab, dampak kerusakan akibat perilaku koruptif itu meluas.
"Daya rusak yang dilakukan oleh mantan napi korupsi tidak selesai hanya dengan mendapatkan pembinaan di Lapas, karena dia mendapat pembinaan untuk dirinya pribadi, tapi daya rusak yang disebabkan perilakunya itu berdampak panjang," kata Titi kepada Republika.co.id, Rabu (23/5).
Titi menjelaskan, mantan napi korupsi di masa lalunya telah diberikan kepercayaan oleh masyarakat untuk mengelola pemerintahan. Namun gagal dan tidak mampu bekerja amanah dalam mengelola keuangan negara di masa lalu.
Menurut Titi, negara tidak boleh mengambil risiko dengan memberikan kembali akses kekuasaan kepada mereka yang punya rekam jejak buruk. "Kita tidak boleh mengambil risiko dengan membiarkan orang yang gagal mengelola keuangan negara karena koruptif, kembali mendapatkan kewenangan yang sangat luar biasa itu," ujar dia.
Karena itu, Titi memandang, rumusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) soal larangan mantan napi korupsi menjadi calon legislatif menjadi relevan. Sebab mantan napi tersebut akan dinominasikan sebagai pejabat publik. Posisi ini akan membuat mereka bisa mengakses kembali kewenangan legislasi, anggaran dan pengawasan.
Titi melanjutkan, negara juga harus melindungi kepentingan yang lebih besar, yakni pemilih dan warga negara. Caranya dengan tidak mengambil risiko tersebut. Sehingga orang yang terbukti gagal saat menjadi pejabat publik, tidak kembali mengakses kekuasaan. "Agar pemilih dan masyarakat tidak berada dalam situasi berisiko," ungkap dia.
Peraturan KPU soal larangan mantan napi korupsi menjadi caleg ini, jelas Titi, juga merupakan upaya KPU memerangi tindak pidana korupsi yang memang telah menjadi masalah laten di Indonesia. Upaya KPU ini sekaligus sebagai efek jera bagi para politikus supaya betul-betul amanah menjalankan fungsi jabatannya.
"Jadi ini juga dalam konteks agar ada efek jera, bahwa jangan sekali-sekali melakukan kejahatan luar biasa seperti korupsi. Karena daya rusaknya luar biasa," ungkap dia.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Ahmad Riza Patria, sebelumnya mengatakan usulan KPU yang ingin melarang mantan napi korupsi mendaftar sebagai caleg melanggar hak asasi manusia (HAM). Riza menyatakan tidak sepakat dengan usulan KPU tersebut.
Menurut Riza, setidaknya ada empat alasan yang mendasari DPR menolak usulan KPU. Pertama, usulan aturan seperti ini adalah hal baru dan tidak sesuai dengan norma yang ada dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Kedua, menurutnya, melanggar HAM.
Sebab, mantan napi korupsi merupakan orang yang sudah menjalankan hukuman penjara. "Orang yang sudah dihukum selama sekian tahun, kemudian mereka menjalaninya, maka orang itu sudah membayar hukumannya. Dia sudah dianggap baik," ujarnya.
Baca: DPR Tolak Usulan KPU Terkait Larangan Mantan Koruptor Nyaleg
Ketiga, Riza melanjutkan, seseorang belum dianggap baik hanya jika mantan napi itu belum selesai masa hukumannya. Jika dia sudah menjalani hukuman tapi masih belum dianggap baik, berarti ada upaya penghukuman seumur hidup. Ia pun meminta KPU tidak menghukum seseorang selama seumur hidup.
Pertimbangan keempat, papar Riza, larangan mantan napi korupsi ini sudah dua kali diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). MK pun sudah dua kali memutuskan bahwa larangan tersebut tidak dapat diberlakukan.
"Merujuk kepada UU Pilkada yang saat ini ada, aturannya jelas bahwa bandar narkoba dan mantan pelaku kejahatan seksual kepada anak dilarang maju sebagai calon kepala daerah," tambahnya.
Menurut Riza, usulan KPU itu tidak perlu direalisasikan. Setidaknya, agar bisa diwujudkan, KPU cukup mengirimkan surat edaran kepada seluruh parpol. Isi suratnya yakni meminta kepada parpol untuk sebisa mungkin tidak mengajukan caleg yang seorang mantan napi korupsi.
Baca: Meski Ditolak DPR, KPU Upayakan Mantan Koruptor tak Nyaleg